TAHUN KESENIAN & POLITIK KEBUDAYAAN
Oleh: Halim HD
Budayawan Indonesia
Bukan seniman kalau tidak kreatif dalam membaca keadaan, walaupun masih terasa bersifat reaktif. Demikian pula dengan seniman di Makassar ketika isu tentang gedung kesenian Societeit de Harmonie terasa ingin dibawa oleh arus politik lokal, maka kaum seniman berusaha membalikan menjadi sikap yang menggugatnya: tahun 2020 akan menjadi pertarungan politik pilkada di Sulsel berkaitan dengan pemilihan walikota dan bupati.
Maka seniman membalikannya menjadi tahun kesenian, seiring dengan kasus isu gedung kesenian yang sampai kini posisi gedung itu masih terkatung katung, walaupun gubernur pada bulan Juni-Juli 2019 secara gamblang telah menyatakan akan merenovasi dan akan menyediakan dana sebesar 9 miliar.
Keputusan gubernur tentang renovasi gedung kesenian sangat mungkin bisa menjadi wujud konkrit dalam praktek politik kebudayaan. Tentu saja wujud lain dari politik kebudayaan ini harus kita lihat sejauh manakah praktek pengelolaan gedung tersebut memperhitungkan posisi kaum seniman sebagai pemangku khasanah senibudaya.
Sebab, politik kebudayaan selalu bersifat bilah pedang yang memiliki dua mata: disatu sisi membedah kebuntuan sistem produksi dan sistem sebagai proses pewujudan karya dan khasanah senibudaya, di sisi lain mata pedang itu bisa juga berbalik membabat harapan kaum seniman: seniman hanya sekedar dijadikan pelengkap penderita setelah dijadikan alat legitimasi.
Praktek yang terakhir ini sering terjadi misalnya dalam banyak kasus berkaitan dengan program disbudpar.
Dalam konteks lontaran Tahun Kesenian versi kaum seniman dan Tahun Politik versi kaum politisi, maka kaum seniman sudah semestinya merumuskan sikap dan komitmen untuk mewujudkan rencana kerja kebudayaan.
Disinilah kaum seniman harus secara mendalam menggali dan mengurai peta masalah dan memaparkannya secara strategis. Singkat kata, dibutuhkan perspektif dan visi strategi kebudayaan untuk wilayah Sulsel dan Makassar khususnya. Strategi itu tentu saja tidak bisa diwujudkan secara faksional.
Sebab, pada sisi lainnya, keputusan gubernur untuk merenovasi gedung kesenian bisa dianggap sebagai praktek dari sebagian langkah strategis pengelola daerah.
Pelatuk strategis ini bisa dikembangkan dan disambut oleh kaum seniman dengan sikap mandiri dan dengan konsep yang minimal mengandung kompetensi secara nilai maupun praktis.
Dan hal ini, sekali lagi, kaum seniman harus benar benar berpikir secara mendalam, bukan sekedar bersifat reaktif dan bersifat emosional. Kita tahu, di antara kaum seniman sendiri sudah begitu mendalam dirinya dijejali oleh praktek politik lokal lokal yang cenderung banal akibat sikap dan cara berpikir fasional.
Maka ada baiknya Tahun Kesenian yang dicanangkan oleh kaum seniman menjadi momentum otokritik dan sekaligus mewujudkan sikap dialogis.
Penulis: Halim HD