KELUARGA, KOMUNITAS: BASIS PROSES DAN PRODUK SENIBUDAYA

KELUARGA, KOMUNITAS: BASIS PROSES DAN PRODUK SENIBUDAYA
Oleh: Halim HD

Pada menjelang tengah tahun 1984, setelah memegang KTP Solo yang saya kantongi sejak tahun 1982, suatu hari kepala Taman Budaya Jawa Tengah (TBJT) di Solo, Murtijono (Alm) yang lebih dikenal dengan sebutan TBS, Taman Budaya Solo, mengundang saya untuk makan siang di ruang kantornya yang berhimpitan dengan meja meja stafnya.

Pertemuan itu adalah perjumpaan kami yang setiap minggunya 3-4 kali bersapaan, dan memperbincangkan rencana kerja kesenian. Hari itu nampaknya dia punya sesuatu yang ingin disampaikan kepada saya. Makan n obrolan kami diselingi dengan sesekali sodoran staf TBS yang menyorongkan sejumlah berkas untuk ditandatangani.

Pada ujung dari perjumpaan itu, dia menyodorkan kepada saya surat rekomendasi yang meminta kepada saya untuk sebagai formatur tunggal merevitalisasi Dewan Kesenian Solo (DKS), yang hampir satu dekade mengalami kevakuman.

Dari ujung pertemuan dan pembicaraan kami, saya menyatakan, terima kasih atas kepercayaan itu, tapi sayangnya saya harus menolak. Penolakan ini yang pertama, beberapa bulan kemudian saya diundang oleh Walikota Solo melalui seorang stafnya untuk menjadi formatur DKS.

Jawaban dan argumentasi saya sama seperti yang saya sampaikan kepada Murtijono: Solo tidak membutuhkan DKS, dan paling baik menguatkan dan mengembangkan basis basis komunitas dan jaringan relasi dengan keluarga tradisi. Bagi saya, jika suatu kota atau daerah jaringan dan basis komunitas serta keluarga tradisinya kuat, maka disitulah sesungguhnya fondamen penting didalam pengelolaan kehidupan senibudaya.

Pengalaman tiga puluhan tahun yang lalu itu ingin saya sampaikan kepada rekan rekan di Sulsel dan Makassar. Jika kita melacak jejak sejarah sekitar setengah abad terakhir dan atau bahkan pada abad yang lampau, kita saksikan bagaimana keluarga tradisi menjadi tiang tumpu penting di dalam penciptaan khasanah senibudaya dalam berbagai segi dan jenisnya, dan sekaligus pula sebagai basis pengelolaan internal yang utama.

Jika kita sampai sekarang masih menyaksikan khasanah senibudaya dalam perspektif tradisi, hal itu karena masih adanya keluarga keluarga tradisi yang memegang komitmen. Dalam konteks komitmen itu pula kita melihat keluarga tradisi sebagai lembaga pendidikan.

Berdampingan dengan keluarga tradisi, di wilayah urban, kita melihat pertumbuhan dan perkembangan grup grup kesenian. Mereka kita sebut komunitas yang menekuni khasanah senibudaya secara spesifik, sebagai bagian dari pergaulan sosial dan sekaligus wujud ekspresi mereka yang rata rata kaum muda dalam jenis kesenian yang mereka minati. Sanggar, adalah salah satu wujud yang bisa kita sebut.

Dalam lingkungan sosial ini, yang paling menarik adalah proses belajar dan penciptaan serta sekaligus pengelolaan produksi. Sikap amatir sebagai dasar dari etos dan etik sosial dikembangkan dan menjadi dasar sikap didalam memgelola produksi. Amatir bukan berarti merema tidak serius, juga bukan berarti mereka sekedar asal asalan saja berkessnian.

Justeru dasar amatir(isme) inilah yang menguatkan mereka didalam pencarian skill, tehnik, metode dan eksplorasi gagasan serta konsep. Banyak diantara mereka justeru secara teknikal sangat profesional, mumpuni, sangat layak dipanggung dan ruang ruang pertunjukan. .

Jadi saya membayangkan, jika saja di Makassar dan Sulael komunitas dan keluarga tradisi berkembang dengan baik, kehidupan senibudaya tidak usah dikhawatirkan. Jika ada kekhawatiran, justeru terletak kepada arah komunitas yang suka dan selalu goncang dan goyah oleh rayuan politik pragmatis yang suka dan selalu mengiming imingi impian dan harapan: menyodorkan relasi birokrasi sebagai sumber dana.

Bagi saya, khususnya komunitas di Sulsel dan Makassar sangat perlu dan penting meneguhkan sikapnya tanpa harus bersikap anti kepada politik dan politisi. Independensi harus dipegang sebagai wujud bermartabat di dalam berkesenian.

Lalu ada pertanyaan, bagaimana dengan DKM dan DKSS? Kedua lembaga ini membutuhkan dukungan, dan dukungan itu dengan sikap independen sebagai watak kaum seniman yang memiliki martabat. Sebab, kasus di Solo berbeda dengan di Sulsel dan Makassar. Sulsel pernah memiliki DKM yang fenomenal, yang pernah jadi think tank dan ruang perbincangan yang visioner. Maka mendukung dan merevitalisasi DKM sangat penting, agar kaum seniman bisa satu gerak dalam langkah.

Penulis: Halim HD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *