Diskusi, Hutan Kritis dan Geliat Produksi Jagung, Budayawan Bima Singgung Ungkapan Ngaha Aina Ngoho

Topikterkini.Com.Bima-  Alan Malingi, kembali menghubungkan istilah ngaha aina ngoho dan program Catur Bhakti Utama Mbojo antara kerusakan hutan dan produksi jagung di Bima. Hal itu diungkapkan pada kesempatan diskusi publik dengan tajuk “Refleksi Nilai Ngaha Aina Ngoho: Mencari Jalan Keluar untuk Melindungi Hutan di tengah Gelombang Komoditas Jagung”, pada Sabtu (5/6) melalui aplikasi Zoom.

Diskusi yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Wilayah NTB (LPW NTB) ini, bertepatan dengan momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap tanggal  5 Juni.

Acara ini diwarnai umpan balik kritik dan masukan dari peserta berbagai unsur yang berjumlah total 67 orang, diantaranya dari unsur dosen, guru, praktisi, aktivis, mahasiswa dan masyarakat umum.

Direktur LPW NTB, Taufan, menyampaikan pelaksanaan diksusi adalah mempertimbangkan kondisi hutan yang semakin kritis.

“Produksi jagung terus menanjak, terjadi pembabatan hutan, berimbas pada kerusakan lingkungan hidup, lahan kritis sampai dengan hantaman banjir yang semakin meluas, sehingga hutan, telah kehilangan fungsinya sebagai sumber kehidupan makhluk”, terangnya.

Menurut Taufan, ada aspek kebutuhan ekonomi, namun di sisi lain kondisi hutan telah sampai pada tahap kritis.

“Kita perlu diskusikan bersama, bagaimana jalan keluar mengingat pesan ngaha aina ngoho, harapannya dengan diskusi awal ini banyak masukan dan solusi untuk ditindak lanjuti”, ujarnya.

Muh. Risnain, selaku Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Mataram,  mengatakan, nilai ngaha aina ngoho juga memiliki spirit yang sama dengan konsep sustainable development, ini sudah menjadi kerangka acuan kebijakan global, nilainya sama bahwa pembangunan dengan pola pikir ke depan”, ujarnya.

Risnain mengatakan bahwa kondisi hutan kritis terjadi karena berbagai faktor, faktor pendukung, ada industrialisasi, dukungan perbankan, konsumtif, peralihan lahan, komoditas pertanian lain harganya murah seperti padi dan kedelai.

Risnain, juga menyoroti kendala dari aspek substansi, stuktur dan budaya hukum. Menurutnya, substansi hukum kita ada perubahan kewenangan semenjak UU 23 Tahun 2014.

“Penegak hukum dibidang kehutanan sangat kurang, jumlah personil Dinas Kehutanan sangat terbatas, tidak sesuai dengan luas hutan di NTB”, tuturnya.

Budaya hukum, juga memberikan sumbangsih terhadap kerusakan hutan, “ada kecendrungan perilaku yang eksploitatif dan destruktif”, tegasnya.

Dari berbagai kondisi yang ada, Risnain menawarkan solusi mengkaji kembali UU 23 Tahun 2014, perlu penguatan ketentuan khusus tingkat daerah, dibentuk satgas yang didalamnya ada unsur TNI, Polri, Polhut dan Pol PP, serta peningkatan kesadaran hukum.

Alan Malingi, selaku budayawan Bima sekaligus Kepala UPTD Museum ASI Mbojo, menyatakan bahwa tahun 1977 sudah terjadi pembalakan liar yang kemudian direspon oleh Bupati H. Oemar Harun dengan program catur bhakti utama mbojo. “Ngaha aina ngoho berawal dari ungkapan Bupati yang kemudian diambil langkah pencegahan perladangan liar, pemilik tegalan dianjurkan untuk membuat terasering dengan perintah menanam tanaman keras dan tanaman tahunan”, terangnya.

Alan mengungkapkan bahwa perintah menanam dan memanfaatkan sejengkal tanah untuk menanam pohon tertuang dalam program Catur Bhakti Utama Mbojo.

“Sosok Bupati ini, dia suka blusukan untuk suskesnya program ini, cetak sawah baru juga dilakukan”, ungkapnya.

Alan kemudian menguraikan makna ungkapan ngaha aina ngoho yang berartim ngaha aina ngoho adalah nasihat untuk berhemat dalam arti yang luas, dan memanfaatkan sumber daya alam demi hari esok dan anak cucu.

“Istilah ngaha aina ngoho juga dilandasi petuah leluhur yang mengatakan to’I ngaha sa oko, na’e ngaha sa onga, yang berarti kecil makan merunduk, besar makan menengadah”.

Menurutnya petuah itu berarti manusia harus senantiasa menimbang kondisi ekonomi, tidak boros dan selalu menyisikan untuk hari esok. “Sejak lama kita mengenal konsep parafu, atau lestari, untuk menjaga alam”, katanya.
Menurut alam, kondisi hutan semakin rusak dan dengan adanya jagung akan kembali menambah kerusakan, dan potensi bencana juga akan meluas. “Bencana sudah diprediksi sejak lama, kita sudah meraskan tahun 2016 silam, dengan semakin rusaknya hutan, bukan tidak mungkin mengundang bencana lebih besar”, tuturnya.

Alan juga berharap adanya upaya untuk mengembalikan semangat lestari untuk melindungi hutan dengan penguatan kebijakan pemrintah, “Kalau dulu setiap Bupati ada motto, semenjak tahun 2000 tidak punya mooto, jadi Kabupaten Bima Sekarang tidak punya motto”, ungkapnya.

Di samping narasumber, peserta juga ikut memberikan kritik dan masukan terhadap kondisi hutan yang semakin kritis.

Abdul Haris yang juga ketua LPW Bima Raya mengungkapkan ketidaksesuaian antara program Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “Dinas Pertanian programnya pengadaan bibit jagung, sedangkan satu sisi Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan ada program perlindungan hutan, ini harusnya disesuaikan”, ungkapnya.

Menurut Abdul haris, pemerintah perlu komitmen tentang hutan dan lingkungan dengan program pendampingan kepada masyarakat dengan meminimalisir perambahan hutan tutupan, menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat tentang dampak kerusakan hutan, mendorong lahirnya ketentuan lokal di wilayah sasaran, sehingga ada peningkatan prsentase angka rehabilitasi hutan dan lingkungan.

Safran, memberikan memberikan tinjauan yang mendalam terhadap persoalan perlindungan hutan. Menurutnya Bupati sekarang tidak melakukan upaya apapun untuk mengembalikan fungsi hutan, “kami melihat tidak ada kebijakan yang serius untuk melindungi hutan”, terangnya.

Praktisi lain juga ikut berkomentar, Aan, berpendapat bahwa perlu pendataan populasi petani pemilik dan petani yg menggunakan metode ngoho, lokasi dan luasan hutan lindung mutlak yg tertuang dalam RTRW Provinsi dan Kabupaten agar bisa disadur dan disebarluaskan ke publik, alternatif tanaman tahunan agar dikonsepkan secara komprehensif sampai pada pemasarannya.

“Ngaha aina ngoho masih kita akui eksistensinya atau cukup jadi motto pemanis yg belum teraktualisasi dalam program kongkrit”, sindirinya.

Fadila, memberikan masukan terkait peran pemerintah daerah provinsi maupun pemerintah kabupaten.

“Perlu upaya dari Bupati Bima, kalau hanya dibebankan kepada Pemprov saja, tidak akan berjalan stabil, ” Ujaranya.

“Kasus pembalakan akan terus terjadi dan tidak ada kesadaran dari masyarakat, selain dibuatkan perda sebagai langkah pencegahan, pemerintah kabupayen juga harus bisa melakukan langkah penanganan. Perlu sosialisasi UU atau perda, mulai pencegahan sampai pada proses pelaksanaan penanganan, ” Katanya.

“Perlu langkah penanganan dengan menghadirkan sebuah kebijakan atau pelaksanaan agroforestik, langkah ini merupakan penanganan dari hutan-hutan yang dibabat atau hutan gundul”, ucapnya.

Dari diskusi yang berlangsung selama tiga jam ini, peserta antusias untuk memberikan kritik dan masukan, walau semuanya tidak tertampung, sehingga alokasi waktu dirasa kurang dan berharap ada diskusi dan aksi lebih lanjut, “ini sebagai diskusi pembuka, kami ingin ini diteruskan”, ungkap Irfan.

Liputan : Zaki

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *