Refocusing Pakarena: Mempertahankan Dunia Sepi

Refocusing Pakarena: Mempertahankan Dunia Sepi

Oleh: Baghawan Ciptoning
Pengamat Seni

Minggu, 6 Juni 2021 ba’da Ashar bertempat di sunroom Lt. 12 Hotel Remcy Makassar, telah dipresentasikan hasil kolaborasi antara Nurlina Syahrir seorang penari dan maestro Pakarena dengan Goenawan Monoharto, seorang fotografer handal, keduanya putra-putri Makassar.

Program tersebut digagas oleh pengurus Lembaga Pengembangan Kesenian Kebudayaan Sulawesi Selatan (LAPAKKSS) terkhusus Yudhistira Sukatanya, Dewi Ritayana, Goenawan Monoharto, Nurlina syahrir dan didukung penuh oleh DR. H. Ajiep Padindang, SE. MM, pendiri dan ketua LAPAKKSS periode 2017-2021 yang saat ini sebagai Anggota DPD MPR RI periode 2019-2024.

Acara tersebut dihadiri sekitar 70 orang terpilih dikarenakan mengikuti protocol kesehatan mulai dari seniman, budayawan, pejabat dan akademisi dan disiarkan secara live streaming oleh Kabar Makassar.

Dari pantauan melalui tekhnologi informasi, yang menyaksikan secara daring sekitar 200 penonton baik yang berada di Indonesia maupun manca negara seperti, Jepang, Amerika Serikat dan Canada.

Yang menarik dalam acara tersebut, dibuka dengan testimoni oleh para pakar yang sahih dibidangnya seperti. DR. Karta Jayadi, Wakil Rektor UNM Makassar, Halim HD, budayawan Solo, DR. Nungki Kusumastuti artis dan dosen IKJ Jakarta, Prof. DR. Suminto A. Sayuti, Guru Besar UNY Yogyakarta, DR. Tangsi, Dekan FSD UNM Makassar, DR Aswar, Kaprodi DKV UNM Makassar, Prof. DR. Endang Caturwati, Pasca Sarjana ISBI Bandung, Acha Hasaduddin, Sutradara Film, Andi Muhammad Redo, Dian Siradjuddin, Ilham Anwar, Aktor film Jakarta, Prof. DR. Setiawan Sabana, Guru Besar Seni Rupa ITB Bandung dan DR. Akbar Faizal Anggota DPR RI periode 2014-2019.

Pakarena pada awalnya adalah Akkarena yang berarti bermain, permainan atau pertunjukan.

Perkembangan selanjutnya, Pakarena berfungsi sebagai pelengkap upacara penobatan raja yang merupakan upacara daur hidup raja dan keluarganya.

Pakarena terus berevolusi menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Sampai saat ini Pakarena masih tetap lestari dan berkembang. Bahkan Pakarena dapat dikatakan menjadi literatur bagi para kreator tari di Sulawesi Selatan dalam menciptakan tari baru yang bernuansakan tradisi maupun kontemporer.

Sore itu, tiga suara Puik-Puik seruling bambu Makassar melengking keras saling bersautan menembus ruang atas gedung lantai dua belas beratapkan langit.

Sosok perempuan setengah baya dengan baju Bodo oranye tua berpadu hitam pekat didampingi sosok perempuan muda berbaju Hanbok warna merah jambu sangant cerah yang merupakan baju tradisional korea Selatan.

Sementara di sudut kiri area pentas seorang anak berbaju bodo keluar dari tirai dengan latar belakan foto penari pakarena berukuran besar karya Goenawan Monoharto.

Sang anak berjalan pelan menuju sosok perempuan muda berbaju Korea. Keduanya saling berpelukan dan berjalan menyamping meninggalkan sosok perempuan separuh baya.

Satu penari yang lain berbaju bodo warna hijau tampak berjalan dengan ekspresi tegang seakan mencari seuatu yang hilang. Dia menyelinap diantara para hadirin yang duduk dan sebagian berdiri di area perhelatan tersebut.

Lagu dongang-dongang yang sepertinya menjadi ciri vocal tari pakarena pada saat ini dilantunkan oleh tiga vokalis perempuan dan pria secara bergantian terdengar menyayat.

Perpaduan hentakan gendang, puik-puik dan vocal adalah musik tari karya Basri B. Sila menjadi penguat suasana karya tari lebih tepatnya Dance Theater yang dikoreografikan oleh Nurlina syahrir.

Suasana sepi penuh misteri membawa hadirin kedalam balutan suasana hutan yang kelam. Gerak yang pelan, lembut dengan ekspresi datar dipadu dengan suara lengkingan vocalis pria dengan lagu dongang dongang semakin membawa penonton menahan nafas. Tenang, kokoh tak bergeming dalam suasana sepi seakan menjadi symbol perempuan Makassar.

Daur hidup dan aktifitas dalam dunia perempuan, tanpa kata, tanpa desah keluh kesah dan selalu terjaga jiwa dan martabat keperempuannya.

Melalui symbol perempuan tradisi, anak kecil dan perempuan Korea ditambah lagi dengan mencolok sosok tokoh dengan karakter gerak Pakarena yang tetap dalam ekspresi lembut dan datar, anak kecil yang memeluk wanita Korea lalu mengukuti perjalanannya dan wanita muda berbaju bodo hijau yang dalam ekspresi pencarian, membuat dahi penonton mengkerut.

Sesuatu yang disampaikan oleh sang koreografer dalam karya penyajiannya tersebut menimbulkan pertanyaan besar, apakah Pakarena telah memudar baik bentuk dan spiritnya, apakah pakarena telah kehilangan generasi penerusnya dan apakah sebenarnya Pakarena mempunyai jiwa terbuka untuk dapat bersinergi dengan budaya lain sesuai nafas jaman.

Sepi, bukan kesepian. Sepi itu suasana yang tersaji secara alami. Filosofi Jepang yang terkenal dengan Wabi-Sabi, bahwa sepi itu indah dan orang Jawa punya kata, “sepi iku ora suwung” yang artinya dalam dunia sepi itu tidak ada kekosongan.

Apa yang dibidik oleh Goenawan Monoharto dalam Pakarena yang tampak dalam karya foto kolaborasinya dengan Nurlina Syahrir adalah “sepi”.

Dalam “Refocusing Pakarena”, semua yang tersaji saat menjelang senja tersebut adalah sebuah karya yang mengajak kita semua untuk merenung dalam sepi tentang Pakarena sebagai kehidupan yang meruang dan mewaktu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *