TOPIKterkini.com – Bombana | Aroma ketimpangan hukum kembali menyeruak di Kabupaten Bombana. Ketika aparat begitu garang menertibkan penambang kecil yang dianggap ilegal, proyek senilai 6 Miliar pembangunan “Kolam Renang” untuk persiapan Pekan Olahraga Provinsi (Porprov) justru melenggang mulus, meski diduga menggunakan material galian C tanpa izin.
Ironisnya, proyek yang disebut sebagai proyek strategis daerah ini justru berjalan di bawah pendampingan aparat penegak hukum (APH). Namun, di balik sorotan lampu proyek, tercium dugaan kuat bahwa pasir dan batu yang digunakan berasal dari sumber ilegal.
Temuan ini bukan isapan jempol. Dari dokumentasi lapangan, alur distribusi material, hingga data internal proyek, semuanya mengarah pada satu simpulan: ada indikasi kuat penggunaan material dari lokasi tanpa izin resmi. Lalu di mana integritas penegakan hukum yang selama ini digembar-gemborkan?
Padahal, pada 24 Juli 2025 lalu, Kejaksaan Negeri Bombana bersama Dinas Pariwisata Kepemudaan dan Olahraga sudah menandatangani Pakta Integritas serta menerima Surat Perintah Pengamanan Pembangunan Strategis (PPS). Tujuannya jelas: memastikan proyek strategis berjalan sesuai aturan. Tapi kenyataan di lapangan justru mencoreng komitmen itu sendiri.
Tokoh pemuda Bombana, Rizki Mapatarani, menilai situasi ini sebagai bentuk standar ganda dalam penegakan hukum.
“Ketika rakyat kecil diduga menambang tanpa izin, mereka langsung diseret. Tapi ketika proyek besar yang didampingi aparat memakai material ilegal, semua mendadak bungkam. Senyap. Ini tidak normal,” tegas Rizki.
Lebih jauh, Rizki mengungkapkan kejanggalan lain: pajak galian C justru dibebankan ke kontraktor, bukan ke pemilik izin tambang sebagaimana diatur dalam undang-undang.
“Kalau materialnya dari tambang resmi, maka pemegang IUP yang wajib bayar pajak. Tapi kalau pajaknya ditarik dari kontraktor, itu tanda besar ada sesuatu yang tidak beres. Jangan-jangan materialnya memang dari tambang bodong,” ujarnya tajam.
Ia merujuk pada UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba yang secara tegas mewajibkan legalitas izin untuk setiap pengambilan material tambang, serta UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menyebut bahwa pajak mineral bukan logam dan batuan adalah kewajiban pemegang izin, bukan pengguna.
“Porprov penting, tapi hukum jauh lebih penting. Jangan sampai demi kejar target, aturan justru dikorbankan,” sindirnya.
Rizki memastikan bahwa kritiknya bukan tuduhan tanpa dasar. “Kami berbicara pakai data. Ada bukti, ada indikasi jelas. Kami tidak akan diam melihat hukum dipermainkan,” tegasnya.
Langkah selanjutnya, dirinya akan tempuh secara resmi dengan melaporkan ke APH sedang kami siapkan. “Kami menolak tebang pilih, semua harus sama di hadapan hukum,” pungkas Rizki. (TIM).










