Penggusuran Lahan Jalur Lombe-Lakapera Dinilai Sebagai Bentuk Penindasan dan Perampasan Hak Rakyat

TOPIKterkini.com, BUTON TENGAH – Proses penggusuran lahan milik warga Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu, yang terkena pelebaran jalan di jalur Lombe-Lakapera dengan dipantau langsung oleh Bupati Buteng H. Samahuddin, SE bersama jajarannya serta beberapa staf Dinas Pekerjaan Umum (PU) pada Kamis (13/6/2019), dinilai merupakan bentuk penindasan dan perampasan hak rakyat atas status kepemilikan lahan perkebunan jambu mete maupun aset keluarga bagi para pemilik lahan.

Salah satu Caleg terpilih asal Partai Nasdem pada pemilu serentak bulan April 2019 lalu, La Ode Alim Alam yang merupakan salah satu pemilik lahan dekat pertigaan jalur menuju Metere merasa keberatan dengan proses penggusuran yang tanpa ada sosialisasi dari pemerintah setempat.

“Saya tidak menghalangi pekerjaan, silahkan bekerja tapi ingat, lahan saya itu jangan coba-coba diganggu karena itu adalah hak saya yang harus kalian pikirkan, ini biar mau konfirmasi ke saya selaku pemilik lahan malah tidak ada, ini kan sama saja dengan penindasan karena lahan itu adalah aset untuk menopang kehidupan keluarga, selain itu sama juga dengan merampas hak saya karena penggusuran itu dilakukan tanpa izin dan tanpa sepengetahuan saya,” ungkapnya melalui awak media, Kamis malam (13/6/2019).

Ia juga menilai, proses penggusuran yang mengenai lahan milik warga merupakan tindakan semena-mena yang dilakukan oleh oknum pengelola proyek, karena tanpa ada proses ganti rugi lahan maupun tanaman yang dirusak oleh alat berat.

“Kita simpulkan untuk sementara, diduga ini adalah proyek abu-abu alias tidak jelas, sekarang kalau memang ini proyek resmi maka harus dipasang papan proyek, tanpa ada papan proyek maka itu sebuah pelanggaran, kemudian kalau proyek ini swakelola maka pihak ketiganya siapa, karena yang namanya swakelola aturannya itu harus dipihak ketigakan,” kata La Ode Alim Alam.

“Silahkan buka aturannya kalau swakelola, mengingat rawannya penyimpangan atau bahkan kecenderungan jangan sampai terjadi praktek korupsi dalam pengelolaannya, karena bagaimana mungkin suatu Dinas menangani swakelola kemudian dia juga bertanggung jawab kepada Dinasnya itu sendiri, maka dari situlah sehingga harus dipihak ketigakan,” sambungnya.

Melihat proses pengerjaan proyek yang terkesan kurang transparan, mantan aktivis ini juga mulai mempertanyakan kepastian sumber anggaran penggusuran lahan tersebut, serta tanggung jawab Pemda terhadap pengerjaan jalan Kabupaten jalur Kamama-Tolandona yang perlu diprioritaskan.

“Kemudian jalur Lombe-Lakapera itu kan jalan Provinsi, mengapa pihak Kabupaten yang kerjakan, ini ada apa? publik juga perlu ketahui dan ini perlu dipertanyakan, proyek ini memakai dana dari mana? sementara jalan Kabupaten seperti jalur Desa Kamama-Tolandona yang seharusnya menjadi tanggung jawab Kabupaten malah tidak dikerjakan,” ucapnya heran.

Saat ditanya terkait ada dan tidaknya sosialisasi maupun pemberitahuan dari aparatur Kelurahan setempat, Alim Alam menegaskan bahwa secara fakta ia tidak pernah dihubungi terkait rencana penggusuran tersebut.

“Kalau ada orang yang mengatakan pernah mengkonfirmasi ke saya selaku pemilik lahan, atau ke kakak saya La Ode Gogo maka itu adalah manusia yang berlidah biawak alias lidah bercabang, orang seperti itu hanya ingin cari muka dan sama saja dengan menjerumuskan Pemda, kenapa saya katakan seperti itu, karena keluarga kami selaku pemilik lahan tidak pernah dihubungi untuk rapat atau sosialisasi,” tegasnya.

Sementara itu, salah satu aktivis Buteng yang akrab disapa Awal menanggapi bahwa, persoalan ini berpokok pada prosedur dan mekanisme penyampaian kepada masyarakat pemilik lahan. Pihak pengelola proyek terkesan tidak beritikad baik dan malah menerobos lahan milik warga secara sepihak.

“Selagi prosedurnya itu sesuai dengan mekanisme musyawarah itu harus kita sepakati, tapi kalau kita lihat ini pelebaran itu mereka katakan hanya 10 meter, kemudian ada beberapa pemilik lahan tidak dikonfirmasi, padahal yang namanya proyek itu statusnya harus jelas, prosedurnya jelas, keungannya jelas, hasil musyawarahnya juga harus jelas,” pungkasnya.

Hingga berita ini diterbitkan, belum ada keterangan resmi dari pihak Pemda maupun Dinas pekerjaan Umum Kabupaten Buton Tengah. (**)

Laporan Jurnalis Kepton: Anton

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *