Posisi Seniman dan Gedung Kesenian
Oleh: Halim HD
Budayawan Indonesia
Betapapun kaum seniman kerap dipandang sinis, misalnya dalam konteks ketidakmampuan dalam berorganisasi n tidak memiliki lobi kuat dalam politik, namun satu hal yang harus dicatat, bahwa kaum seniman adalah sekumpulan makhluk pencipta khasanah kebudayaan.
Tentu saja ciptaan khasanah kebudayaan ini sangat bergantung kepada kapasitas masing masing individu dan adanya sistem yang kondusif yang diciptakan bukan hanya oleh seniman, tapi juga diselenggarakan secara bersama sama: seniman, masyarakat, kaum profesional, kaum pendidik, para eksekutif, para legislator, kritikus, pengamat seni, dllnya.
Tak ada suatu keberhasilan yang diciptakan secara sepihak. Kerja bersama merupakan proyek kebudayaan ke arah proses humanisasi secara individual n sosial.
Kebudayaan sebagai proses n sebagai produk merupakan dua sisi dari keping yang sama. Dalam konteks inilah, n dalam konteks menciptakan suatu sistem yang kondusif, hendaknya kita meletakan diri kita pada ruang n sikap dialogis yang berangkat dari realitas sejarah.
Melalui kesadaran kesejarahan inilah hendaknya sistem dibentuk agar arah prosses dan produk khasanah kebudayaan bisa seiring dengan harapan kita semua.
Berangkat dari hal itulah saya ingin menarik ke dalam ruang persoalan yang belakangan ini terjadi di Makassar, tentang posisi kaum seniman dalam konteks relasinya dengan gedung kesenian Societeit de Harmonie. Gedung tersebut sebagai fasilitas proses dan produk penciptaan khasanah telah dibuktikan dengan posisi kaum seniman di Makassar selama rentang waktu setengah abad terakhir ini.
Tentu saja ada naik turun posisi kaum seniman dalam konteks dirinya berada di gedung tersebut. Hal itu kuat kaitannya dengan relasi dan kondisi politik serta posisi penguasa lokal: sejauh mana apresiasi serta kapasitas moral courageous penguasa lokal di dalam praktek politik kebudayaannya.
Kasus walkot Makassar Daeng Patompo ditahun 1970an menjadi buah bibir dalam konteks ikut menciptakan sistem yang kondusif, dan dengan sistem itu pula nama Makassar berkibar di seantero tanah air melalui produk kebudayaan yang oleh para pengamat dianggap sebagai salah satu barometer di negeri ini melalui produk kebudayaan moderen dan disitu pula tradisi memiliki posisi dan fungsi sebagai inspirasi penciptaan khasanah.
Kita harus menyadari lintasan sejarah ini, jika kita ingin kembali kepada jejak yang benar didalam menciptakan sistem ke arah proses praktek penciptaan.
Dalam proses inilah kita sangat membutuhkan ruang ruang laboratoris dan ruang produksi. Berkaitan dgn hal ini, maka bukan hanya sudah selayaknya gedung kesenian Societeit de Harmonie dikembalikan kepada kaum seniman sebagai pengelola konten dan program dengan dasar visi kebudayaan.
Saya menganggap bahwa saatnya kaum seniman merumuskan sikap dan pikirannya secara bersama sama dengan dasar bahwa sikap independen dan dasar kompetensi menjadi batu ujian penting. Sebab, kita juga tahu dan sadar bahwa krisis figur seniman serta berbagai konflik personal dan politis terjadi disekitar kaum seniman akibat imbas dari arus politik lokal yang bisa bersifat banal.
Menutup esai kecil ini, saya ingin kembali menegaskan, jika kaum seniman ingin memiliki martabat dan karyanya memiliki makna bagi lingkungan sosialnya, maka kaum seniman harus menjejakan kakinya ke buminya secara bersama sama. Dalam konteks inilah, dan dalam kaitannya dengan posisi kaum seniman dengan gedung kesenian, kaum seniman tidak membutuhkan perantara siapapun dan organisasi apapun yang ingin dan yang berusaha bermain politik dengan alasan memberdayakan posisi kaum seniman agar seniman bisa kembali mengelola gedung kesenian yang penuh makna sejarah, dan sejarah yang diciptakan oleh kaum seniman pendahulunya.
Catatan akhir yang ingin saya tegaskan disini, bahwa upaya lontaran isu “pemberdayaan” (empowerment) kaum seniman, merupakan penghinaan terhadap kaum seniman.
Penulis: Halim HD.