Topikterkini.com – Manado | Jalan penghubung antara Kota Manado dan Desa Sea Kabupaten Minahasa sangat memprihatinkan. Nyatanya, jalan tersebut rusak parah dan hanya bisa dilewati satu kendaraan saja yakni roda empat. “Jika kita akan menuju ke lokasi yang dimaksud, maka akan melihat perbaikan jalan yang didahului dengan pembangunan irigasi. Tetapi, setelah seratus meter melewati perbatasan Kota Manado dan Kabupaten Minahasa, kita langsung bisa melihat kiri-kanan jalan yang hancur. Ciri khas sebuah wilayah pinggiran,” ungkap warga Sea, Taufik Poli kepada Media, Senin (14/03/2022).
“Sejauh ini tidak ada tanda-tanda perbaikan jalan, yang sehari-hari ada hanyalah kemacetan akibat mobil-mobil yang saling berpapasan. Maklum, jalan ini hanya bisa dilalui satu mobil, dan tidak bisa lebih, jika lebih maka body depan mobil Anda akan bersentuhan akibat jalan yang tidak memadai,” tuturnya.
Menurutnya, para penguna jalan Malalayang-Sea berkomitmen untuk menjadi warga negara yang baik. Sebagai warga negara, tidak hanya dibebankan kewajibannya seperti membayar pajak. Akan tetapi, harus mendapatkan hak atas fasilitas publik yang dapat diakses secara setara. “Kalau “kewajiban” itu adalah tanggung jawab kami, maka “hak-hak warga negara” adalah tanggung jawab negara untuk dilaksanakan,” ujarnya sembari menyebut sesederhana itu logikanya, tapi tentu tidak mudah dicerna oleh orang mabuk. Mabuk kekuasaan maksudnya.
“Disini kami mau mengajukan pertanyaan siapa yang harusnya memenuhi hak kami sebagai warga negara, atas jalan yang layak untuk dilalui. Pastinya, Negara beserta institusi-institusinya selalu mempunyai berbagai macam alibi jika berkaitan dengan hak-hak warga negara yang harus dipenuhi. Salah satu anggota DPRD Minahasa yang juga “orang Sea” (entah apa ukuran “orang Sea” dan bukan “orang Sea” itu) berpendapat hal ini adalah tanggung jawab Pemerintah Provinsi, karena itu merupakan jalan penghubung antara kota dan kabupaten/kota. Katanya dia akan berusaha mencari jalan yang tersedia untuk menyelesaikan masalah ini. Mari kita tunggu,” imbuhnya.
Lanjutnya, sedangkan sampai hari ini tidak ada tindak-tanduk dari Pemerintah Provinsi atau Kabupaten untuk memperbaiki jalan yang rusak. Apakah masyarakat harus menunggunya juga?. ” Sebagai warga negara kami sudah terlatih untuk menunggu hal yang tidak pasti dari pemerintah. Jangankan pemerintah, gebetan yang ghosting saja tetap kami tunggu,” ucap mahasiswa Universitas Unpi Manado ini.
“Jangan fokuskan masalah ini kepada regulasi tentang prosedur dan otoritas mana yang bertanggung jawab menyelesaikan masalah ini. Karena, sekali lagi, negara dan institusi-institusinya selalu mempunyai alibi jika sudah menyangkut hak-hak rakyat yang harus dipenuhi. Yang perlu kita persoalkan adalah public-ethics (etika-publik) negara terhadap warganya. Dalam hal ini, negara adalah otoritas yang bertugas untuk memenuhi tuntutan publik. Negara bukan hanya pemerintahnya, tetapi juga warganya. Memenuhi tuntutan warga negara atas barang publik yang layak adalah tindakan etis utama bagi negara untuk menghargai public-ethics,” jelasnya.
Sedangkan, diamnya negara (DPRD Kabupaten, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten) adalah tindakan yang tidak punya keutamaan etis, dan pada akhirnya tidak dapat menghormati public-ethics tersebut. “Kalau sudah seperti ini, bukan hanya barang publiknya yang tidak diperhatikan dan dibiarkan hancur, tapi juga hak-hak warga negara. Saya sebagai rakyat biasa, pengendara sepeda motor, pengguna jalan Malalayang-Sea, dan penunggu yang setia, hanya bisa berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar pejabat-pejabat yang diam itu bisa membuka kembali buku teks Filsafat Politiknya, atau membelinya jika tak punya.”
“Jka tak punya waktu untuk membaca, Saya sendiri sebagai mahasiswa Ilmu Politik tingkat akhir sangat siap untuk memberi kuliah soal public-ethics kepada pejabat terkait, atau berdiskusi tujuh hari tujuh malam untuk hal ini,” pungkasnya.
Laporan: Putra Saleh