Menyikapi Hoax dalam Diskursus
Pemilu Serentak
Moh. Taufik Abdullah, S.E., M.E
Penggiat Demokrasi & Peneliti di Institut Kajian Keuangan
Negara dan Kebijakan Publik (IK2NKP).
Pesatnya perkembangan teknologi digital dan komunikasi telah mencapai pada titik kehidupan masyarakat. Inovasi teknologi digital terus berkembang dengan pesat dari zaman ke zaman, pemanfaatan yang tidak tepat dalam menggunakan media sosial untuk menyebarkan berita atau informasi yang cepat serta tidak akurat atau sering kali kita mendengarkannya dengan kata hoax.
Adanya internet yang banyak digunakan dalam penyebaran informasi menjadi begitu cepat, sehingga masyarakat yang melihat dan membacanya belum tentu akan mencari kebenaran dari informasi berita tersebut yang pada kenyataannya justru banyak menyebarkan informasi tersebut secara langsung terhadap orang-orang.
Maraknya penyebaran berita hoax di Indonesia saat ini, seperti halnya pada saat Pilpres dan Pemilukada serentak yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia.
Hal ini sering terjadi karena perbedaan cara pandangan politik, yang sering dilakukan melalui media sosial. Sementara itu dalam data survey Mastel (2017) bahwa dari 1.146 responden, 44.3 persen menerima berita hoax setiap harinya dan 17.2 persen menerima lebih dari satu kali sehari. Bahkan arus utama media yang diandalkan dipercaya dan terkontaminasi dengan penyebaran hoax.
Banyaknya hoax yang beredar ditengah-tengah masyarakat melalui media sosial internet semakin meresahkan dan memperburuk arus demokrasi kita.
Dalam data hasil penenilitian yang di lakukan Mastel di tahun 2017 kemarin menyebutkan, saluran yang paling banyak digunakan untuk penyebaran hoax yaitu situs wab dalam angka 34.90 persen Line, WhatsApp, dan Telegram sebesar 62.80 persen, dan sosial media seperti Facebook, Instagram, Twitter dan Path merupakan media terbanyak yang digunakan hingga mencapai 92.40 persen.
Untuk menyikapi informasi berita hoax kita belum memiliki kerangka teoritis yang sangat baku untuk penelitian panjang terhadap teori dan pendekatan alat ukur yang berkaitan dengan menyikapi pemberitaan hoax.
Terjadinya perang opini antara pendukung dalam media sosial, hal ini menjadi sebuah catatan penting untuk Pemilu 2024 yang akan datang.
Sementara itu masyarakat sangat memanfaatkan media sosial untuk memperlihatkan dan mengirimkan hasil kecurangan dan saling menyerang pihak yang berlawanan bahkan saling lapor menglapor dengan dalih UU ITE.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 yang sangat buruk dalam sejarah kepemiluan serentak, membawa banyak dampak perilaku terhadap masyarakat.
Hampir di seluruh daerah pemilihan, penyelenggaraan Pemilu 2019 mengalami kendala, mulai dari masalah pendistribusian logistik, kerusakan kotak suara, kerusakan surat suara, kekurangan surat suara sampai dengan suarat suara yang tercoblos lebi dulu.
Deretan dalam kasus ini memperlihatkan kegagalan dari KPU sebagai penjamin berlangsungnya Pemilu. Buruknya Pemilu 2019 akan menjadi ancaman besar untuk partisipasi politik pada tahun 2024 mendatang.
Setiap Pemilu hoax selalu banyak mewarnai, baik itu pemilihan presiden maupun kepala daerah. Berita hoax atau informasi palsu banyak digunakan untuk tujuan yang tidak penting hingga yang penting sekalipun oleh politisi.
Rendahnya pendidikan politik bagi masyarakat pemilih dan ekstrimnya penggunaan media sosial menyebabkan bertumbuh suburnya hoax merupakan penyakit serius untuk bangsa dan negara.
Oleh karena itu, semua orang harus menghindari hoax yang mengakibatkan kecemasan, permusuhan, pertentangan, dan kebencian yang dapat merusak persaudaraan kita.
Hal ini sangat penting untuk menjadi pembelajaran kita bersama, bahwa dibutuhkan upaya yang lebih maksimal dari berbagai pihak untuk melakukan penyaringan informasi politik, agar kepercayaan terhadap lembaga penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) meningkat sehingga mampu meningkatkan intensitas pemilih dan terciptanya iklim politik yang lebih sejuk pada Pemilu 2024 mendatang.
Sementara itu penyelenggara pemilu harus tetap konsisten menjalankan perannya serta tanggung jawabnya dengan mempersiapkan perangkat-perangkat dalam penyelenggaraan Pemilu 2024.***