SUMATERA BARAT

Meski Tanpa Sokongan Dana, Djoni Hatimura Pecatur asal Buol harumkan Sulteng Tembus 10 Besar Dikejurnas Catur ke-50 

96
×

Meski Tanpa Sokongan Dana, Djoni Hatimura Pecatur asal Buol harumkan Sulteng Tembus 10 Besar Dikejurnas Catur ke-50 

Sebarkan artikel ini

Topikterkini.com.Mamuju, Sulbar Deru kipas angin di arena Kejurnas Catur 2025 di Mamuju terdengar lebih keras dari tepuk tangan penonton. Namun bagi para pecatur Sulawesi Tengah (Sulteng), setiap langkah pion, setiap tarikan napas, adalah perjuangan yang tak terlihat.

Selama enam hari, sejak 7 hingga 12 November, lebih dari 600 pecatur terbaik dari seluruh Indonesia beradu strategi di papan 64 petak tempat di mana pikiran menjadi senjata, dan kesabaran adalah nyawa permainan.

Di antara ratusan wajah tegang itu, 20 atlet Sulteng datang dengan semangat yang tak kalah besar, meski dengan bekal seadanya. Tak ada dana resmi, tak ada fasilitas penginapan yang megah, tak pula bonus menanti di akhir laga.
Yang mereka bawa hanya semangat dan nama daerah.

“Tidak ada bantuan sepeserpun dari pemerintah provinsi. Semua biaya ditanggung masing-masing, bahkan ada yang berangkat pakai uang tabungan pribadi,”kepada media ini, kamis (13/11) tutur Dr. (H.C.) Djoni Hatimura, S.Sos, pecatur senior asal Buol, yang juga dikenal dengan julukan “Singa Parlemen”.

Djoni bukan sekadar berbicara, ia membuktikan. Di usia veteran, ia masih mampu menembus peringkat 10 besar nasional. Sebuah pencapaian yang lahir bukan dari kemewahan, tapi dari ketekunan dan cinta yang tulus terhadap catur.

“Kami main bukan untuk hadiah, tapi karena kami cinta permainan ini. Catur itu hidup kami,” ujarnya lirih, menatap papan kayu yang telah menemaninya puluhan tahun.

Sayangnya, hasil akhir Kejurnas tahun ini memang belum berpihak pada Sulteng. Tak satu pun medali berhasil diraih, sementara provinsi tetangga Gorontalo melesat dengan 6 medali emas dan 4 pecatur bergelar Master Nasional.
Namun bagi mereka yang paham arti perjuangan, hasil bukanlah segalanya.

Keterbatasan justru memunculkan kesadaran baru. Di berbagai kabupaten Buol, Morowali, Parigi Moutong, Donggala, hingga Palu para pengurus cabang (pengcab) mulai bergerak, bukan sekadar melatih atlet, tapi membangun harapan dari bawah.
Mereka bahkan mengirim 5 peserta kursus pelatih dan 5 calon wasit nasional dengan biaya swadaya.

“Kami tidak ingin mati pelan-pelan. Selagi masih ada yang mau bermain dan melatih, catur Sulteng tidak akan padam,” ungkap salah satu pengcab dari Parimo.

Namun di balik semangat itu, tersimpan pula kekecewaan dan seruan perubahan.
Banyak pengcab menilai pengurus Percasi Provinsi Sulteng telah gagal menjalankan peran pembinaan dan komunikasi. Kini, muncul desakan agar struktur organisasi di tingkat provinsi diperbarui dengan sosok-sosok baru yang kredibel dan berdedikasi.

Meski begitu, di tengah kerapuhan sistem dan minimnya dukungan, para pecatur Sulteng tetap memilih bermain dengan kepala tegak.
Mereka tahu, di papan catur, pion kecil pun bisa menumbangkan raja jika sabar dan percaya diri.

Dan mungkin, di Kejurnas 2026 mendatang di Banten, langkah-langkah kecil ini akan berubah menjadi lompatan besar.
Karena bagi mereka, catur bukan sekadar permainan, tapi cermin perjuangan hidup: diam, tenang, tapi tak pernah menyerah.

(Husni Sese)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *