Demi Sebuah Senyuman

Demi Sebuah Senyuman

Untuk ukuran sebuah kafe yang dulu sempat hit tapi kini berhasil bubar ditinggal kabur pelanggannya, tak sulit menemukan hal-hal yang sulit dan janggal di tempat ini setiap kunjungan.

Waktu si bos memutuskan untuk membuang daftar menu dan mengurangi pekerja dari empat hingga menyisakan seorang gadis pelayan saja -sama seperti kompilasi ia mencopoti sebagian lampu dan dekorasinya dengan alasan penghematan listrik, maka saat ini kafe hanya menyediakan pesanan teh manis dan kopi hitam atau susu, yang dari keuntungannya yang menerima itu ia membaginya dengan si gadis yang disuruh melakukan dua kerja sekaligus menyediakan minuman dan duduk di belakang meja kasir.

Kenyataannya, kini kafe itu lebih mengutamakan panti jompo. Tinggallah mereka yang terdiri dari para pensiunan tentara, pegawai dinas perhubungan, dan para sopir taksi. Dan diantara orang-orang yang datang dan menghabiskan waktu itu terselip satu kejanggalan, seorang pelanggan muda bernama Hedi.

Bukan cuma sekali-sekali protes orang terhadap Hedi karena tantangannya datang sepuluh menit sebelum tutup kafe. Selalu begitu setiap hari. Seperti kukatakan tadi, sambil menghabiskan keseharian orang-orang di sini, sampai-sampai mereka menemukan hal lain untuk dipusingi selain kemunculan pria di kafe yang memesan segelas minuman tepat sebelum si gadis buka buku kasir dan cuci bersih semua gelas.

Tapi memang demikianlah keadaannya. Kalian tidak perlu jadi manula untuk jadi beresih dengan kebiasaan janggal Hedi. Dan kamu tak perlu sejanggal Hedi untuk dicurigai para orang tua sekarang.

Dalam benak sementara orang, anak muda seperti Hedi di sebuah kafe  dan di meja 11. 50 malam -sepuluh menit dibutuhkan tutup. Ditemani segelas teh hangat dibawah sinar lampu temaram menyiratkan hati yang gelisah dan sedang mencari pelarian, namun tidak pada tempatnya.

Jika ia pergi mencari penghiburan atas kemalangan karena diputus cinta atau semacamnya bukankah tidak perlu ia pergi ke suatu tempat yang lebih menggairahkan, tempat yang lebih muda-mudinya dan menghabiskan tempat duduk para lelaki tua yang sibuk?

Namun, jika orang-orang ini sadar bahwa itu bukan Hedi yang masih muda di tempat tersebut.

Sesungguhnya Hedi tak pernah mengambil pusing dengan anggapan orang lain, toh ia sudah mulai terbiasa dengan ini semua. Ia senang duduk bersabar sambil memandangi satu per satu para manula malang itu meninggalkan kafe hingga merasa bangga. Tidak, bukan seorang, melainkan berdua! Ia dan alasannya melakukan hal-hal yang berulang-ulang ini. Tersisa Hedi dan gadis di belakang meja kasir itu, momen inilah yang dinanti-nanti setiap malamnya. Sebuah adegan dimana si gadis akan menuju meja terakhir dan meminta kepada kami, tanpa nada mengusir, sebuah kalimat sederhana “Kami sudah mau tutup, Kak.” Plus segaris senyuman yang tulus. Ia akan berdiri disana sambil tersenyum, menunggui dengan sabar Hedi, seperti bayi, menghabiskan minumannya.

Setelah lalu berjalan ke muka. Sementara si gadis telah selesai menutup pintu, Hedi sebenarnya ingin membuka beberapa kalimat menentukan dengan harapan bisa membuka percakapan yang lebih jauh, apakah itu sesuai dengan nomor telepon atau alamat si gadis. Namun itu selalu gagal dia lakukan, seakan ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya. Tapi Hedi tidak kecewa sedikit pun. Setelah senyuman itu, ia bisa pulang dengan rasa syukur untuk melipatgandakan kepuasan di kesempatan selanjutnya.

Jika esok malam masih gagal, Hedi tak rugi apa pun. Apakah ia masih akan menerima lagi senyum itu lagi?

Penulis Cerpen: Kaisar Bartolomeo (Pendiri FGD Soda Gembira)

Demi Sebuah Senyuman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *