OPINI

KENAPA KINI PARTAI POLITIK MENJAUH DARI KEBUDAYAAN?

22
×

KENAPA KINI PARTAI POLITIK MENJAUH DARI KEBUDAYAAN?

Sebarkan artikel ini
KONFLIK POLITIK LOKAL: DAMPAK KEPADA SARANA KESENIAN

KENAPA KINI PARTAI POLITIK MENJAUH DARI KEBUDAYAAN?

Oleh: Halim HD

Di dalam arus dan rentang sejarah moderen di Indonesia, kita menemukan suatu bentuk dan wujud berkaitan dengan politik dan kebudayaan, yang sesungguhnya wujud itu merupakan arus yang terus menerus terjadi di dalam sejarah peradaban dan kebudayaan, ketika masyarakat menyadari bahwa semua sistem dan tatanan nilai satu dengan lainnya tak bisa dipisahkan, dan bahkan tercipta interaksi dan saling memberikan inspirasi.

Jejak sejarah itu kian mewujud dalam bentuknya yang paling konkrit setelah periode kemerdekaan.

Pada tahun 1950an terbentuk beberapa organisasi kebudayaan yang memiliki kaitan kuat dgn partai politik dan politisi. Misalnya Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berlandaskan ideologi kiri, LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) yang nasionalis, dan Lesbumi (Lembaga Senibudaya Muslim Indonesia).

Tiga organisasi ini merupakan organisasi yang memiliki jaringan sosial yang luas dari tingkat nasional sampai dengan wilayah kampung dan pedesaan.

Zaman memang memungkinkan lahirnya organisasi kebudayaan dengan para pelakunya figur figur berbobot yang memiliki visi tentang kebudayaan Indonesia yang moderen dan sekaligus sangat paham dengan tatanan nilai tradisi.

Dari sejarah itu pula kita merasakan kontribusi penting bagaimana organisasi kebudayaan menjadi pelatuk strategis di dalam merumuskan dan menyusun rencana kerja kebudayaan moderen sambil terus melakukan pelacakan yang mendalam kepada tatanan nilai tradisi.

Dalam konteks inilah jika kita mengingat figur figur seperti Sukarno, Hatta, Sjahrir, Sitor Situmorang, Nyoto, Chairil Anwar, Pramudya Ananta Toer, HAMKA, Asrul Sani, bahkan sampai dengan Rendra meletakan visi kebudayaan di dalam pernyataan politiknya, terlepas apakah figur yang bersangkutan anggota partai ataukan bukan.

Partai dengan kesadaran kebudayaan inilah yang pernah meletakan fondasi kebudayaan Indonesia moderen yang memiliki akar dalam nilai nilai dan khasanah tradisi.

Yang kita harus catat dan hal ini sangat penting terletak pada posisi dan fungsi figur dalam kaitannya dengan organisasi kebudayaan.

Asrul Sani, sastrawan yang memiliki kapasitas 4-5 bahasa Eropa ini menjadi tulang punggung Lesbumi yang dekat dengan NU, seperti juga Sitor Situmorang yang menjadi tiang tonggak LKN dekat dengan PNI. Sedangkan Lekra, digawangi oleh Nyoto, sang perumus pemikiran arus kiri dan organizer yang handal.

Titik tolak partai berkaitan dengan organisasi kebudayaan terletak kepada kesadaran bahwa partai harus merumuskan dirinya sebagai organisai masyarakat yang sedang menuju kepada wujud masyarakat moderen dan sekaligus ke arah pembentukan suatu bangsa dan negara, nation state, dengan spirit nasionalisme dengan unsur unsur kemoderen yang bisa digali di dalam jiwa masyarakat di lingkungannya.

Dalam kaitan ini, organisasi kebudayaan bukan sekedar pelengkap penderita seperti event organizer yang bekerja pada setiap ulang tahun partai. Organisasi kebudayaan pada periode 1950-65 bisa kita rasakan sebagai thin tank, ruang eksplorasi pemikiran dan ruang perumusan dalam menyusun rencana kerja ke arah Indonesia yang moderen.

Waktu melintas dan zaman berganti. Rezim Orde Baru muncul dengan ideologi pembangunan, developmentalism, dengan pelatuk teknokratil yang mengutamakan proses pembentukan politik ekonomi.

Keberhasilan kemajuan bukan diukur dari sejauh mana warga sadar dan menyadari dirinya sebagai seorang Republiken.

Tapi sejauh mana bisa menghasilkan secara ekonomis. Dalam konteks inilah kompetisi dan pola konsumsi menjadi tolok ukur. Apa yang dipunyai dan dimiliki seseorang, how to have, menjadi ukuran utama. Bukan how to be, menjadi seseorang yang sadar eksistensinya dalam dunia bersama dan menciptakan dunia harapan, proyek Indonesia, secara bersama sama.

Periode rezim Orde Baru melalui partai yang nir-budaya, maka terciptalah para politisi yang tak memiliki atensi dan apresiasi kebudayaan, apalagi komitmen.

Pertanyaan kita, kenapa pula bisa terjadi kondisi seperti itu? Jawabannya rak mudah benar, namun satu dua hal bisa kita lacak kedalam proses pembentukan arah moderenisasi yang tak didasarkan kepada tatanan nilai lingkungan masyarakatnya. Keterputusan sejarah dan perspektif ideologis dan visi dari periode Sukarno kepada periode Suharto membawa konsekuensi logis yang sangat banal: partai hanya menjadi pelatuk kepentingan politik ekonomi yang menggusur cita cita kebudayaan yang bersifat ke-Indobesia-an.

Tentu partai partai ini juga bicara soal “nasionalisme”, seperti juga para politisinya. Tapi itu cuma lip service,basa basi, dan kedok untuk mengelabui kepentingan pragmatismenya.
Sekarang kita makin menyaksikan partai menjauh dari kebudayaan, dan kaum politisi bergenit-kenes dengan kesenian, dan hal ini ibarat dalam lakon melodrama yang terus menerus dilakonkan oleh partai dan politisi yang sesugguhnya telah menjadi anak durhaka kebudayaan.

Penulis: Halim HD

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *