MIS-MANAJEMEN PENGELOLAAN GEDUNG KESENIAN?
Oleh: Halim HD
Membicarakan masalah posisi dan pengelolaan gedung kesenian Societeit de Harmonie (GK-SdH) rasanya seperti tak akan ada habisnya.
Sarana dan ruang kesenian yang bernilai warisan budaya dan historis ini, penuh dengan bercak hitam pengelolaan.
Jika saya katakan, tak habis habisnya masalah yang dikandung, nampaknya hal ini sangat kuat kaitannya dengan cara pengelolaan, manajemen.
Akibat tata pengelolaan yang tidak becus itulah kondisi gedung kian merana, nampak suram dan kumuh, memupus sejarah yang hampir satu abad kemegahan gedung yang dahulu sangat dibanggakan.
Demikianlah waktu berjalan dalam rentang ruang perkotaan yang kian kehilangan icon dan citra ruang senibudayanya.
Gedung kesenian itu bukan cuma nampak suram dan kumuh. Dibalik itu terdapat tata pengelolaan yang jauh dari rasa tanggungjawab terhadap kehidupan senibudaya.
Marilah kita ambil kasus yang dialami oleh salah satu dedengkot penulis lakon, mantan dosen Fakultas Sastra Unhas, yang sangat dikenal dalam dunia panggung, Fahmy Syarif (FS).
Dengan niat untuk mewujudkan dan mengukuhkan kehidupan sastra dan seni teater, FS menyodorkan lakonnya untuk dipanggungkan di GK-SdH.
Setiap tahun dua kali menyodorkan lakon lakon yang telah menjadi bagian dari masyarakat senibudaya untuk dipanggungkan, suatu keinginannya untuk meneruskan tradisi berpikir melalui seni pertunjukan. Namun, apa daya, lakon yang ditulisnya sebanyak 4-5 lakon terpental dari gedung bertembok suram dan kumuh yang dikelola secara serampangan itu.
Gagalnya upaya FS untuk memanggungkan lakon lakonnya, karena ditikam oleh angka yang disampaikan oleh Dinas Budpar sebesar 7 (baca: tujuh juta!!).
Pengelola gedung yang staf Disbudpar itu memberikan rincian kebutuhan bahwa biaya sebesar tujuh juta itu untuk sewa lampu, untuk biaya air condition (AC), dan biaya kebersihan. Semuanya atas nama biaya pengelolaan.
Gedung kumuh suram dengan akustik yang jelek itu melebihi anggaran Teater Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, yang jauh lebih besar dan lebih baik, atau Teater Kecil di Taman Ismail Marzuki yang sama nilai sewanya sebesar 3 juta (baca: tiga juta!!).
Dengan rasa sesal yang tak pernah usai, FS yang selama hampir setengah abad mengabdikan dirinya dalam dunia sastra dan teater, menelusuri ruang lain, sebagai usaha untuk mewujudkan kreatifitas sastra dan seni pertunjukan harus terus digulirkan dan ditampilkan kehadapan masyarakat.
Dalam upaya itulah FS mendapatkan pilihan alternatif untuk menunjukan karyanya, dan Trans Studio menampungnya, dengan ruang panggung yang jauh lebih memadai daripada gedung kesenian, maka empat lakon berturut turut Datu Museng, Jenderal Terakhir, I Ma’di Dg Rimakka dipentaskan di Trans Studio.
Dan tak hanya pementasan….masih juga diberi uang saku, dan repro dokumentasi.
Terakhir pementasan lakon Karaeng Patingaloang pada tahun 2019. Tentu FS merasa bersyukur ada pihak swasta yang punya atensi dan apresiasi senibudaya, setelah mengalami hambatan birokrasi Disbudpar yang cenderung mis-manajemen, dan bahkan manipulatif.
Barangkali ada baiknya bagi kita mencatat apa yang disampaikan oleh FS, bahwa omong kosong usaha pemajuan kebudayaan (di Sulsel dan Makassar) kalau tak didasari pemikiran logis dan rasional.
Penulis: Halim HD