DICARI: STRATEGI TATA RUANG KEBUDAYAAN

DICARI: STRATEGI TATA RUANG KEBUDAYAAN
Oleh: Halim HD
Budayawan Indonesia

Gelombang moderenisasi sejak satu abad yang lampau, dan khususnya pada tengah abad XX melanda wilayah nusantara, seperti juga wilayah wilayah diberbagai ujung dunia, telah merubah tatatan ruang kehidupan. Laju moderenisasi yang didukung oleh tehnologi sebagai basis industri kian lama kian melaju dengan cepat, bahkan derasnya melampaui cara berpikir kita.

Hanya segelintir manusia yang bisa menangkap arus deras itu, dan sebagian besar mereka hanyut dan lepas kendali: menjadi konsumen dan bahkan berwujud serupa binatang pelahap yang mengunyah dan menelan semua yang diproduksi oleh industri moderen, ungkap filsuf-humanis Erich Fromm.

Dalam konteks itulah sangat menarik apa yang disampaikan oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma, rektor Institut Kesenian Jakarta, dalam pidato kebudayaan Dewan Kesenian Jakarta, tentang betapa pentingnya mengendalikan waktu, dan berpaling dari suatu konsep tentang percepatan, akselerasi yang selama kita genggam dan dijadikan acuan untuk mengejar rasa ketertinggalan.

Waktu, percepatan, dan rasa ketertinggalan itulah yang selama ini dikolohkan kedalam diri kita, agar kita jadi kaum peniru zaman. Atau yang lebih pas, peniru produk.

Bangsa bangsa yang berlomba mengejar impian dan berusaha menyamakan dirinya dengan negeri negeri industri yang dianggap bisa memecahkan masalah kebangsaan dan kemanusiaan, kini digugat. Walaupun gugatan itu tak sepenuhnya berhasil. Kegagalan itu dikarenakan jejak sejarah moderenisasi telah mengakar, dan bahkan pada sebagian besar justeru tetap diikuti dan dianut.

Lihatlah misalnya tata ruang perkotaan kita yang dikepung oleh mall dan toko toko mungil serba ada yang ikut menggusur posisi pasar tradisional. Hotel hotel menjulang sebagai upaya mengejar impian konsep politik ekonomi.

Pada wilayah kehidupan kebudayaan, terdapat ironi yang paling kelam: bangsa nusantara yang begitu dekat dengan nafas kehidupan alam sekitarnya, kian musnah. Contoh konkrit yang paling kasat mata, entah berapa ribu kilometer garis pantai dirusak oleh bangunan yang nampak terasa banal.

Kampung kampung telah kehilangan tata ruang publik: moderenisasi juga ikut menciptakan rezim birokrasi yang menganggap dirinya yang paling berhak mengatur ruangan, dan justeru warga sebagai pemilik dan pengelola dijadikan penonton.

Metropolitan, kota dunia, itulah yang dijadikan semboyan dalam wujud slogan yang berhimpitan dengan iklan. Warga diloloh oleh impian yang bukan miliknya, diantara kekenesan bercampur kerakusan kaum elite yang berpikir secara banal tentang ruang yang dijadikan komoditi: politik tata ruang yang menggusur dan menghilangkan hak warga dari pengelolaan. Dibalik itu, bisnis tata ruang terus berjalan melalui kolaborasi penguasa lokal dengan investor dengan dukungan politisi yang lebih mementingkan posisi dan kursi.

Betapa ironisnya kota Makassar sebagai kota maritim yang garis pantainya lenyap oleh kepentingan politik ekonomi penguasa yang cuma jadi agen dan bahkan calo bagi kaum investor, dengan dalih peningkatan sumber daya ekonomi.

Pada satu sisi Makassar menepuk diri kota metropolitan dan kota dunia, pada sisi lainnya terjadi penghilangan tata ruang warga, ruang publik yang justeru menjadi tolok ukur utama bagi suatu kota yang dianggap memiliki standard internasional: kenyamanan ruang bagi warga, bagi publik, telah disulap menjadi barang dagangan, komoditas.

Dampak negatif ini bukan hanya pada hilangnya hak warga, tapi juga hilangnya relasi warga kota dengan lingkungannya secara fisikal dan sosial. Masih ditambah dengan penghilangan pohon pohon di wilayah urban yang sesungguhnya dalam sejarah tradisi sebagai bagian dari keseimbangan hidup.

Degrafasi ekologi kota hampir mengalami titik nadirnya seiring dengan kerusakan ekologis yang dibarengi dengan pengutamaan sistem transportasi individual. Polutan udara dan suara mengepung kota. Dampak negatif ini akan berlanjut selama beberapa dekade, dan yang akan mengalami secara fatal adalah justeru anak anak dan kaum muda, pemilik masa depan negeri ini.

Jika kita kini merenungi kota yang telah dikhianati oleh penguasa lokal dan politisi sebagai beking kaum investor, kita sesungguhnya merenungi detik demi detik dari setiap langkah kita, diantara suara hati yang tak lagi dipedulikan oleh wakil rakyat dan penguasa yang kian merajalela merampok masa depan warga.

Penulis: Halim HD.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *