Apresiasi Puisi
“PROVINSI APA INI TANPA STADION !”, BENTAK AHMADI HARUNA
Oleh A. Mahrus Andis
Karya sastra, khususnya puisi, selalu menjadi media ekspresi yang sangat dibutuhkan masyarakat. Melalui medium seni bahasa yang bernama puisi, seorang penyair merdeka memuntahkan semua beban yang menghimpit batinnya. Seperti yang dilakukan oleh penyair Ahmadi Haruna, puisi telah menjadi corong jiwanya untuk berkomunikasi kepada publik. Berikut ini, penyair yang juga teaterawan produk Dewan Kesenian Makassar ini menuliskan puisinya:
JUARA TANPA STADION
Gegap gempita seantero nusantara
Pasukan Ramang Juku eja
Tim tanpa stadion juara Ligina satu
Pesta menggemuruh di tikungan jalan
Di warkop-warkop
Di pos-pos ronda
Di hotel dan restoran
Di cafe-cafe
Lagu EWAKO PSM kuasai atmosfir Makassar
Stadion Habibie berjaya
Mattoanging menangis
Dua tahun hanya berlumuran lumpur
Agenda rapat bertubi-tubi
Habiskan anggaran tanpa hasil
Sketsa pembangunan stadion telah kusut dan buram ditangan pemerintah
Sorong kiri-sorong kanan tanpa realisasi.
PSM tiba dipuncak
Tangan pejabat bersorak di bawah meja
Tangan wakil rakyat bertepuk di belakang kursi
Suporter jadi nyinyir
Minta pejabat tak hadir
Di laga terakhir
Subhanallah
Astaghfirullah
Rezim pemerintahan apa ini
Tak ada naluri sepak bolanya
Provinsi apa ini tanpa stadion
Rubuhkan Mattoanging penuh sejarah
Mattoanging kau tinggal kenangan
Kau kehilangan sejarah
-10 April 23-
Penyair Ahmadi Haruna
Membaca puisi di atas, muncul kesan di hati kita bahwa penyair sedang murka. Sering kita mendengar ungkapan bahwa buku jendela dunia atau mata jendela hati, maka bahasa adalah jendela rasa bagi penyair. Ahmadi Haruna telah melampiaskan rasa kecewanya kepada sebuah sistem yang bernama pemerintah.
Kemenangan Persatuan Sepakbola Makassar (PSM) di Ligina Satu, tidak hanya membuatnya bangga dan bahagia, tetapi sekaligus membangkitkan kemarahan yang entah sekian lama dipendamnya itu. Pada bait puisinya, penyair menulis:
“Stadion Habibie berjaya
Mattoanging menangis
Dua tahun hanya berlumuran lumpur
Agenda rapat bertubi-tubi
Habiskan anggaran tanpa hasil
Sketsa pembangunan stadion telah kusut dan buram ditangan pemerintah
Sorong kiri-sorong kanan tanpa realisasi”
Kemarahan penyair bukan tanpa alasan. Kejayaan olahraga di Sulawesi Selatan, ditandai dengan hadirnya Stadion Mattoanging yang kini telah hilang dari lembaran sejarah. Stadion mewah di masanya telah roboh dan stadion megah dalam sketsa masa kini sudah lusuh, tak pernah lagi menjadi agenda pembicaraan.
Pemerintah Daerah, dalam hal ini para eksekutor Provinsi Sulawesi Selatan sebagai penanggung jawab hadirnya sarana stadion menjadi sasaran kemurkaan. Bahkan, legislator selaku wakil rakyat, tidak luput menjadi objek ejekan. Oleh penyair, mereka dinilai hanya ikut menikmati kemenangan atas perjuangan berat PSM meraih juara. Seperti kata penyair:
“PSM tiba di puncak
Tangan pejabat bersorak di bawah meja
Tangan wakil rakyat bertepuk di belakang kursi”
Ekspresi kemurkaan belum surut di bait-bait ini. Penyair terus menggelandangkan realitas imaji puitiknya. Dengan satu bentakan berat, dilandasi pengaduan sesal kepada Allah SWT, penyair menulis:
“Astaghfirullah
Rezim pemerintahan apa ini
Tak ada naluri sepak bolanya
Provinsi apa ini tanpa stadion
Rubuhkan Mattoanging penuh sejarah”
Rupanya di bait inilah puncak kepedihan penyair. Ahmadi Haruna, bukanlah pemain sepak bola yang terampil. Namun, sebagai penyair, ia mampu merasakan sebuah kehilangan bagi sejarah peradaban di kotanya. Ahmadi yang memang besiknya wartawan, ternyata seorang reporter permainan bola yang jeli. Ia menuliskan puisinya dengan stil reportase yang menggelitik. Paling tidak, gelitikan itu menyadarkan Pemerintah dan rakyat Sulawesi Selatan akan pentingnya sarana olahraga yang representatif, pengganti Stadion Mattoanging yang rata dengan tanah.
“Mattoanging kau tinggal kenangan
Kau kehilangan sejarah.” Begitu kata penyair di ujung kemurkaannya.*
-Makassar, 14 April 2023-