Sebagai sosok politikus sejati yang telah memiliki pengalaman di kancah perpolitikan regional maupun nasional, tentunya figur H Ahmad HM Ali menampilkan kualitas kedewasaan dalam memainkan peran politiknya.
Dan sangat tidak diinginkan oleh Ahmad Ali dalam berpolitik adalah dengan mengesampingkan etika dan kesantunan. Karena dapat membunuh karakter anak bangsa.
Maka tidak mengherankan jika di setiap kesempatan dalam perjalanannya merengkuh asa terpilih sebagai Gubernur Sulawesi Tengah periode 2024-2029 ini, Ahmad Ali kerap mengingatkan agar senantiasa menjaga persatuan dan kesatuan beriring dengan kesantunan dalam beretika.
Tidak saling menghujat dengan ujaran kebencian, melontarkan fitnah yang menyesatkan hingga mengedepankan emosi yang berlebih-lebihan hingga berakibat merusak toleransi keberagaman di negeri Tadulako ini.
Ahmad Ali menginginkan arena kontestasi Pilgub Sulawesi Tengah menjadi ajang silahturahmi dan memperkuat persaudaraan, sehingga cita menuju impian dan Harapan Baru untuk Sulawesi Tengah Sejahtera mendapat dukungan penuh masyarakat.
Keberagaman dan persatuan merupakan aset terpenting yang dimiliki bangsa Indonesia di Sulawesi Tengah ini. Aset yang juga menjadi kekuatan besar bagi masyarakat Sulteng ini hendaknya bersama-sama kita rawat dan pelihara bersama.
Agar keberagaman dan persatuan tersebut tetap dijunjung tinggi di tengah dinamika pesta demokrasi lima tahunan di Sulawesi Tengah menjadi ajang merajut persatuan dan kesatuan anak negeri di negeri khatulistiwa ini.
Jangan sampai rasa persaudaraan kita sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air di Sulawesi Tengah luntur hanya karena perbedaan pandangan politik.
Sebabnya apa? Para politisi kita tidak memberikan edukasi yang baik kepada masyarakat agar kedewasaan dalam berpolitik semakin baik.
Sesungguhnya sudah menjadi tugas bersama untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat dalam tiap kesempatan.
Masyarakat pun akan semakin dewasa dalam menentukan sikap politiknya apabila para politisi yang bersaing tetap mengedepankan dan menunjukkan sikap kedewasaan berpolitik kepada masyarakat.
Tetapi kalau kita sudah mengartikan kebebasan berekspresi dan berpendapat itu asal ngomong dibolehkan, ya akan berbeda hasilnya.
Kita sering merasa sedih ketika melihat sekelompok orang yang menjelekkan sekelompok lainnya hanya karena berbeda pemahaman dan pandangan politik.
Padahal, dalam bermasyarakat, kita sudah memiliki norma-norma agama, budaya, dan etika yang kesemuanya tak menghendaki perselisihan.
Inilah yang sering kita lupa apalagi elite-elite politik baik di daerah, kota, kabupaten, provinsi, maupun nasional bahwa kita ini dilihat oleh rakyat.
Jangan sampai energi kita habis gara-gara saling mencela, mencemooh, dan memaki di antara kita sebagai saudara sebangsa dan se-Tanah Air khususnya di daerah kita Sulawesi Tengah ini.
Tak terbantahkan bahwa, Pilgub Sulawesi Tengah di tahun 2024 ini membuat polarisasi politik menjadi begitu kuat. Politik identitas menjadi alat untuk melakukan propaganda dalam menjaring dukungan.
Bahkan, di media sosial perbedaan itu sangat kentara. Seperti pinang dibelah-belah, media sosial seolah-olah menjadi rumah pertengkaran yang nyaman bagi kubu kontestan masing-masing dengan sebutannya masing-masing
Dalam konteks demokrasi yang hanya menghadirkan kedua pasangan calon, polarisasi memang menjadi hal yang lumrah. Namun, dengan catatan, polarisasi itu tidak melampaui batas.
Artinya, merek mendukung dan mengampanyekan calonnya dengan batasan-batasan yang rasional, tidak saling serang dengan menebar fitnah dan menutup kebenaran yang ada di pihak lawannya.
Cara-cara berpikir oposisi biner memang harus dihindari. Sebagai sebuah kontestasi politik yang terbuka dan rahasia, sudah semestinya publik disajikan asupan-asupan positif.
Sehingga publik bisa berpikir jernih dalam menentukan pilihannya—bukan malah terjerat pada polarisasi yang didasari kebencian pada yang lain.
Suka atau tidak, kontestasi politik hari ini bisa dibilang menyedihkan. Kenapa? Karena kita tidak melihat pertarungan ide yang ditawarkan untuk membangun bangsa lima tahun ke depan.
Artinya, keduanya pun terjebak pada bagaimana menyerang lawan dengan berlomba-lomba menaikkan tagar yang saling menyudutkan.
Pertarungan semacam itu tentu saja tidak mendidik, karena kita hanya disajikan keburukan-keburukan yang diekspos oleh masing-masing.
Hal semcam ini bisa dibilang kemunduran dalam berdemokrasi kita. Bahkan, yang sangat menyedihkan, aktor-aktor politik menjadi produsen hoaks terbesar.
Sangat disayangkan lagi, kejadian tersebut berlanjut setelah pencoblosan. Elite politik justru memamerkan kegagapan dalam berdemokrasi. Wacana-wacana negatif digemborkan, seolah pemilu yang berjalan adalah kecurangan.
Harus diakui, di media sosial, baik pendukung masing-masing kandidat Cagub-Cawagub Sulawesi Tengah kali ini, sampai hari ini masih berada dalam uforia perang tagar.
Suka atau tidak, ini memang menjengkelkan. Karena keduanya berlomba-lomba menghamba pada tagar dan viral. Akhirnya, media sosial pun menjadi tempat yang kejam untuk mengutarakan pendapat.
Perdebatan kusir saling menjelekkan yang berlanjut sampai saat ini, pada akhirnya menghilangkan esensi kritis dalam berpendapat. Secara tidak langsung pun membunuh nalar dengan cara masing-masing.
Dengan demikian, nilai-nilai kearifan yang kita miliki pun hilang, sopan santun menjadi barang langka dan caci maki menjadi satu-satu jurus handal.
Perdebatan para pendukung kandidat yang kerap dibumbuhi cacian dan makian, tidak akan pernah selesai, pun tidak akan pernah memberikan nilai pembelajaran bagi masyarakat.
Justru, perdebatan semacam itu hanya akan menjadi pemicu ketegangan dan membuat masyarakat terbawa pada pandangan benar dan salah semata.
Akhirnya, kontestasi politik di Sulawesi Tengah hanya menjadi ladang bagaimana mencari kesalahan orang lain. Di sinilah pentingnya menempatkan perdamaian sebagai nilai. Apapun yang terjadi, perdamaian adalah hal asasi yang harus kita sepakati.
Bukankah memang demikian, di atas politik adalah kemanusiaan. Artinya, sekeras apapun pertarungan politik, perdamaian anak bangsa di Sulawesi Tengah di atas segalanya.
Dengan demikian, para elite politik harus menjadi energi positif untuk menyikapi hasil Pilgub Sulawesi Tengah mendatang. KPU adalah institusi resmi yang menentukan dan mengumumkan hasil pemilihan. Keputusannya pun harus diterima, dan kalau pun ada kejanggalan yang tidak bisa diterima, jalan konstitusi yang sudah ditentukanlah yang harus ditempuhnya.
Oleh karenanya, seruan perdamaian dari elite politik tidak bisa ditawar lagi. Semua masyarakat harus dihimbau saling menjaga persatuan dan kesatuan.
Jangan sampai para pendukung dibirakan liar baik di dunia maya maupun dunia nyata dengan asumsi-asumsi sepihak yang hanya memicu ketegangan.
Dengan kata lain, hari ini harus dijadikan momen merajut kembali persahabatan. Mulai saat ini tidak ada lagi kata dan umpatan yang saling menyudutkan.
Apapun hasilnya nanti di Pilgub Sulawesi Tengah, siapa pun yang terpilih, itulah keputusan yang harus kita hormati bersama. Semua elemen pun harus saling bahu membahu untuk mengawal pemerintahan Sulawesi Tengah.
Kita harus dukung jika kebijakannya berpihak pada rakyat dan dikritik jika menyimpang dari janji-janji yang sudah diteriakkan. Inilah kedewasaan berpolitik yang semestinya dicontohkan oleh para elite kita.
Jika elite politik gagal menanamkan kepercayaan ini, maka demokrasi kita akan berjalan tanpa aturan. Jangan sampai caci maki menjadi tradisi bangsa ini dengan alasan menghakimi.
Jangan sampai merundung menjadi hobi hanya karena perbedaan persepsi. Jangan sampai mengumpat dianggap cara yang paling terhormat. Dan, jangan sampai menghina dianggap sebagai satu-satunya cara yang paling mulia.
Jangan kita membiarkan pertarungan politik di Pilgub Sulawesi Tengah dengan mengesampingkan etika, sama halnya dengan membunuh bangsa secara perlahan.
Terakhir, seketat apa pun pertarungan politik, tetap saja ‘nalar’ jauh lebih penting dibanding ‘tagar’. Karena sejatinya, kontestasi politik adalah menciptakan nilai perdamaian di balik perbedaan pilihan yang memang niscaya.
Oleh : Maulana Maududi (Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Central Analisa Strategis – DPP CAS / Angkatan 18 Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta)
BERSAMBUNG