Ketika Polisi “Tak Mengayomi Dan Melindungi”
Oleh : Andi Attas Abdullah
Mengayomi, Melindungi dan Melayani itulah jargon Polri. Lalu bagaimana jika jargon itu tak dilaksanakan lagi? Hal ini terlihat dari cara anggota Polri menangani unjuk rasa massa mahasiswa di berbagai daerah.
Sebut saja di Makassar, Palu, DKI Jakarta, Bandung dan masih banyak daerah lainnya, dimana aparat Polri represif, arogan dan anarkis terhadap masyarakat sipil seperti mahasiswa.
Celakanya lagi, pekerja pers pun (Jurnalis) juga jadi sasaran amuk sekelompok anggota Polri yang bersenjata pentungan dan menggunakan pelindung (Tameng) itu. Adalah Muh Darwin Fatir salah seorang jurnalis kantor berita Antara Makassar korban amuk sekelompok aparat Polri ditengah-tengah rusuh aksi unjuk rasa di kantor DPRD Sulsel 24 September 2019.
Padahal para pewarta seperti Muh Darwin Fatir mestinya mendapat pengayoman dan perlindungan dari aparat Polri saat dalam situasi menjalankan tugas-tugas jurnalistiknya, bukan malah ditangkap dan dipukuli beramai-ramai, ditendang dengan sepatu laras panjang , ditinju dan dipukuli menggunakan benda tumpul seperti pencuri. Padahal mereka (Jurnalis) memberikan informasi factual apa yang terjadi di lapngan.
Ironisnya lagi aparat Polri merampas, merusak dan menghilangkan alat kerja dan hasil liputan para pewarta yang menyajikan fakta arogansi dan tidakan kekeras sekelompok aparat Polri itu. Sebut saja Rian wartawan TVRI Palu yang menjadi sasaran amuk sekelompok anggota Polri di Palu.
Ketika Polisi “Tak Mengayomi Dan Melindungi”
Kameranya dirampas, hasil liputannya dirusak dan dihilangkan, bahkan Rian sendiri ditangkap dan ditahan di Mapolda Sulteng beberapa saat. Apa salah para pewarta itu? Mengapa mesti mereka jadi sasaran emosional sekelompok anggota Polri itu?
Mahasiswa dan jurnalis bukanlah musuh anggota Polri. Mereka tak perlu dikerasi dan ditindaki berlebihan, toh mereka hanya berorasi, tanpa memegang senjata apapun. Tapi anggota Polri memiliki senjata, paling tidak memegang pentungan yang terbuat dari rotan, dan pasti sangat sakit jika dipukulkan ke anggota tubuh makhluk hidup, terutama manusia seperti mahasiswa dan wartawan.
Mestinya aparat Polri lebih mengutamakan pendekatan secara persuasive ketimbang represif. Mereka adalah anak-anak kita, generasi pelanjut masa depan Bangsa ini. Mereka berjuang untuk Bangsa, Negara dan Rakyat. Mereka tidak berjuang untuk kekuasaan, apalagi untuk penguasa. Andaikan bukan karena mahasiswa, maka Polri tidak akan terpisah dari Induknya yakni ABRI kalah itu. Dan mestinya kapolri beserta jajarannya berterima kasih kepada mahasiswa yang rela berdarah-darah, bahkan mati demi sebuah perubahan yang bernama Reformasi.
Penguasa Orde Baru Soeharto tidak akan tumbang andaikan mahasiswa bermasa bodoh, tak mau melakukan gerakan reformasi. Lalu kenapa aparat Polri melarang mahasiswa bertemu dan menyampaikan pendapatnya secara terbuka ke para wakil rakyat di DPR dan DPRD? Dan tugas Polri menjaga dan melindungi mereka saat melakukan aksi-aksi yang pro rakyat, buka pro pejabat atau penguasa.
Para anggota Polri yang terlibat pengeroyokan, penganiayaan terhadap mahasiswa maupun wartawan mestinya segera diadili dan diberikan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Kapolri Jendral Poliri Moh.Tito Karnavian mestinya belajar dari Komjen Pol M.Jusuf Magga Barani yang rela kehilangan jabatannya sebagai kapolda Sulsel ketika itu, atas kesalahan protap oknum anggotanya yang terlibat bentrok dan menganiaya mahasiswa ketika mereka berunjuk rasa.
Ketika Polisi “Tak Mengayomi Dan Melindungi”
Selain mundur jadi Kapolda Sulsel Komjen Pol (Purnawirawan) M.Jusuf Magga Barani memberikan sanksi bagi oknum anggotanya itu, yang terlibat tindakan represif terhadap mahasiswa. Ini jaman teknologi, dimana rasionalitas dan otak cerdas yang diutamakan, bukan emosional seperti orang dungu yang didahulukan.
Jika kemudian ada alasan bahwa anggota Polri adalah manusia biasa, sehingga bisa saja melampiaskan emosionalnya ketimbang akal sehat dan rasionalitasnya, itu memang betul. Tapi jangan lupa ada warna dan symbol Negara melekat disekujur tubuh anggota Poilri itu, yakni baju cokelat, tanda pangkat dan nama yang disematkan oleh Negara yakni Polisi.
Olehnya anggota Polisi tidak boleh dungu bertindak seperti para preman pasar dan jalanan. Tapi harus mendahulukan rasionalitas, kesabaran, kepatuhan pada hukum dan kecerdasan mengolah emosionalnya. Makanya ketika masuk mendaftar jadi anggota Polri, salah satu ujiannya adalah tes psikologis. Nah jika tidak lulus tes psikologis, maka 99 persen tidak akan lulus jadi anggota Polri, kecualia “membayar.”
Diharapkan Kapolri mengevaluasi seluruh jajarannya, agar tidakan represif yang dipertontonkan ke masyarakat sipil, mahasiswa dan jurnalis tidak terulang lagi. Motto Melayani, Mengayomi dan Melindungi benar-benar diterapkan, bukan sekedar slogan belaka. ***
Ketika Polisi “Tak Mengayomi Dan Melindungi”