MISPERSEPSI DISBUDPA TERHADAP KESENIAN
Oleh: Halim HD
Budayawan Indonesia
Salah satu masalah utama yang selalu mengganjal didalam pengelolaan n pengembangan kesenian di Makassar n Sulsel, terletak pada mispersepsi disbudpar di dalam memandang kesenian dan kebudayaan sebagai produk semata mata. Khasanah senibudaya dianggap sebagai benda, n mengesampingkan adanya proses dan praktek yang sesungguhnya sangat penting.
Sebab, tidak akan ada produk, tidak akan ada hasil berupa karya senibudaya jika tidak ada proses. U proses itulah dibutuhkan ruang ruang laboratoris, suatu ruang di mana kaum seniman melakukan eksplorasi n pelacakan kedalam berbagai elemen seni yang bisa dipadukan dan diolah dalam proses penjadian.
Sejauh manakah hal hal seperti itu diketahui oleh disbudpar yang hanya tahunya menjual tapi tanpa mau tahu proses menciptakan produksi.
Lebih ironis lagi, disbudpar juga selalu bersikap menganggap dirinya paham kesenian, Sementara itu data tentang kesenian sama sekali tidak dimiliki.
Disbudpar sesungguhnya telah melanggar tata cara kerja institusinya sendiri sebagai fasilitator. Banyak kasus misalnya disbudpar meminta seniman membuat rumusan proposal dan program kerja.
Ketika seniman membuat n menyodorkannya, yang ironis justeru disbudpar yang mengerjakannya, menyenimankan para stafnya. Ironi lain, pelanggaran tata cara kerja disbudpar terjadi ketika para staf disbudpar menjadikan dirinya event organizer (EO) dgn kedok bekerjasama dgn EO yang seolah olah itu organisasi seniman.
Jika kita mau telusuri lebih lanjut, ironi itu makin panjang, misalnya kasus kasus dimana disbudpar hanya memilih berdasarkan seleranya sendiri, tanpa melihat kompetensi keseniannya.
Itulah kasus kasus yang berakibat tersingkirnya kaum seniman tradisi khususnya para maestro-mpu pemangku khasanah senibudaya.
Berkaitan dgn hal hal tersebut, sudah wajib bagi gubernur Sulsel sebagai kepala daerah n penanggungjawab pengelolaan kehidupan kebudayaan u membenahi tata cara kerja disbudpar. Sebab, jika hal itu berlarut larut terjadi, maka Sulsel akan mengalami stagnasi karya n khasanah eksploratif sebagai kelanjutan dari tradisi masyarakatnya.
Disisi lain, kondisi yg terjadi akibat mispersepsi disbudpar terhadap kerja kesenian dalam konteks tiadanya sistem n praktek, ikut menciptakan dampak yang bersifat pragmatis: degradasi n bahkan sangat mungkin hilangnya tatanan nilai dasar kebudayaan. Hal ini berdampak lanjutan ke dalam kondisi yang paling banal dan dangkal, munculnya cara kerja pragmatis dan karya karya instant.
Catatan: esai ini didasarkan wawancara dengan Bahar Merdu. Namun tanggungjawab ada pada saya.
Penulis: Halim HD.