KONFLIK POLITIK LOKAL: DAMPAK KEPADA SARANA KESENIAN
Oleh: Halim HD
Berita diharian Fajar tentang kedatangan salah satu faksi dari dualisme KNPI keredaksi koran lokal pada tanggal 10 Januari makin membuktikan adanya konflik kepemimpinam di dalam organisasi pemuda KNPI.
Organisasi pemuda yang berdiri sejak hadirnya rezim Orde Baru ini memang sarat dengan potensi konflik yang berkaitan dengan posisi politik yang bersifat onderbouw: hanya menjadi kuda tunggangan untuk kepentingan sesaat.
Dan kepentingan sesaat itu nampaknya makin jelas berkaitan dengan anaknya gubernur Sulsel. Dalam konteks ini terasa dorongan nepotisme n kolutif makin kuat.
Watak seperti itu memang sudah menjadi watak organisasi boneka, yang sesungguhnya kita tidak pernah melihat manfaat maksimal atas kehadiran KNPI di negeri ini, bahkan cenderung hanya menjadi tunggangan bagi segelintir figur demi kepentingan pragmatis.
Jika saya nyatakan bahwa KNPI tidak bermanfaat secara maksimal, justeru membawa dampak negatif. Dengan kesadaran nepotisne dan kolutif itu organisasi ini ingin memanfaatkan sarana gedung kesenian sebagai sekretariatnya, dengan harapan pihak gubernur akan mengizinkannya.
Ironi yang lain dari KNPI ini ketika seminggu yang lalu beredar isu KNPI ingin berkantor di gedung kesenian, dengan dorongan bahwa KNPI bisa ikut berpartisipasi dalam memberdayakan kaum seniman untuk kembali memasuki ruang keseniannnya.
Dorongan keinginan seperti itu sesungguhnya suatu penghinaan kepada kaum seniman. Sebab, bukti sejarah kaum seniman telah memberikan kontribusi melalui gedung kesenian dan gedung itu identik dengan kaum seniman, jauh sebelum KNPI lahir di negeri ini.
Ironi lainnya terletak pada argumentasi KNPI yang menyatakan bahwa sekretariatnya sudah lagi tidak memadai untuk rapat. Dan alasan artifisial itu ditolak mentah mentah melalui ungkapan beberapa aktivis dan kaum seniman: mengapa KNPI tidak mencari gedung dan sarana pemerintah lainnya atau hotel jika mereka butuh untuk rapat?
Tapi, nampak masalahnya bukanlah soal kebutuhan kegiatan rapat.
Dibalik itu ada dorongan kuat KNPI untuk memasuki ruang kesenian dan ingin menunjukan taring kekuasaan politiknya, bahwa melalui nepotisme dan kolutif, membuktikan posisi politik KNPI.
Masalah ini tentu akan berlanjut kepada sejauh manakah pihak gubernur memiliki political will yang bijak: menolak KNPI dan sekaligus memupus dan memberangus watak nepotisme dan kolutif dari organisasi pemuda yang sesungguhnya memang sarat dengan ambisi namun tak memiliki visi politik dan kebudayaan.
Kita hanya bisa menunggu keputusan dan ketegasan gubernur , yang seminggu lalu telah menyatakan bahwa KNPI telah memiliki sekretariat. Sambil menunggu keputusan tegas gubernur, maka kaum seniman mesti menyatukan dan menyatakan sikap menolak keinginan KNPI.
Penulis: Halim HD