SENI, POLITIK & POLITISI
Oleh: Halim HD
Jika ada orang yang menyatakan seni tidak mengandung politik, atau seni tidak boleh dicampur adukan dengan politik, sangat mungkin orang tersebut tak pernah memahami ke-seni-an. Ungkapan itu saya pinjam dan dengan gubahan, dari pernyataan Mahatma Gandhi tentang hubungan agama dan politik.
Dalam perspektif sosiologis, antropologis dan historis, sesungguhnya seni tak pernah dan tak dapat dipisahkan dari politik. Dan juga sebaliknya. Mari kita ambil kasus sederhana dalam sejarah kita misalnya puisi Chairil Anwar yang berjudul “Diponegoro” atau “Antara Krawang dan Bekasi”, sangat sarat dgn pesan moral dan dorongan serta dukungan spirit kepada kaum pejuang.
Di Sulsel ada penyair-komposer-musisi yang karya karyanya menjadi inspirasi tentang makna menjadi Indonesia melalui budaya Makassar dan Bugis serta Melayu, Ong Eng Djie. Banyak data kesenian dalam berbagai disiplin dan jenis yang membuktikan adanya relasi yang tak terpisahkan antara seni dan politik.
Sejarah hubungan seni dan politik, dan sebaliknya merupakan suatu kondisi yang telah menyatu sejak ribuan tahun yang lampau ketika manusia dan masyarakat menyadari bahwa semua proses dan produk kebudayaan dan peradaban tak bisa dipisahjan satu dengan lainnya.
Kesadaran inilah yang sesungguhnya terus dipelihara, walaupun tak sepenuhnya berhasil. Kegagalan itu, sangat mungkin akibat beban politik terlalu tinggi dan menganggap ke-seni-an hanya sekedar permen karet arau kerupuk pelengkap makanan utama.
Fakta semacam ini juga memiliki rentang sejarah yang panjang, ketika ambisi tanpa visi melibas akal sehat dan menyingkirkan kesadaran sejarah dari batok kepala seorang politisi yang dipenuhi oleh tumpukan kerangka kursi kekuasaan.
Di negeri negeri di mana kesadaran politik dibangun dgn etik dan fondamen moral, maka para politisi sangat respek kepada ke-seni-an, dan menjadikan karya seni serta khasanah senibudaya sebagai ilham dalam praktek politik.
Di negeri kita, pada periode kolonial sampe dengan tahun 1960an, kita banyak mengenal mereka yang memiliki visi politik, kebudayaan dan ke-seni-an, misalnya Sukarno, Hatta, Sjahrir, Mas Marco, Tirto Adisoerjo, Abdurahman Wahid.
Demikian juga dengan kaum seniman semisal Chairil Anwar, Sutan Takdir Alisjahbana, Rendra, Asrul Sani, Rahman Arge, dan segudang seniman lainnya.
Fakta sejarah ini makin membuktikan bahwa berkesenian tidak harus meninggalkan politik, demikian juga sebaliknya. Namun, sekali lagi, relasi seni dan politik yang paling utama harus didasarkan kepada landasan moral dan etik serta visi tentang human dignity, martabat manusia sebagai batu uji. Sebab, jika tidak, maka kaum seniman yang berpolitik, dan politisi yang berkesenian, hanya akan menjadikan seni dan atau politik sekedar sebagai permen karet, yang hanya dikunyah dan lalu dilepehkan ketika rasa masam telah memenuhi rongga mulut.
Maka khianat telah jadi bagian dirinya: seniman dan politisi yang telah kehilangan fondamen akal sehat. Dan perzinahan menjadi bagian dirinya. Sejarah akan mengutuk kaum pengkhianat.
Penulis: Halim HD