Etika Berfatwa Dalam Pemikiran Hukum Islam, Oleh: Prof. Dr. H. Masnun Tahir, M.Ag

Topikterkini.com MATARAM (NTB) : DALAM perspektif sejarah sosial hukum Islam, dikenal empat macam produk pemikiran hukum Islam yaitu kitab-kitab fiqh, putusan-putusan pengadilan agama (yurisprudensi), peraturan perundang-undangan dan fatwa ulama. Masing-masing produk pemikiran itu mempunyai karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Semuanya, dalam perumusannya tidak bisa terlepas dari berbagai unsur, pengaruh, dan faktor yang tumbuh dan berkembang di masyarakat, baik faktor sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Selain menggunakan metode yang pas dan tepat dalam menghasilkan fatwa, semua faktor tersebut di atas hendaknya menjadi pegangan sekaligus pertimbangan bagi mufti untuk memperoleh hasil fatwa yang berkemanusiaan dan berkeadilan. Namun apa yang terjadi, kecenderungan yang tampak akhir-akhir ini adalahmunculnya sikap ketergesa-gesaan dan kecerobohan yang dilakukan oleh orang-orang maupun lembaga tertentu dalam memberikan fatwa. Keadaan seperti ini sangat mengkhawatirkan karena sebagian besar persoalan yang mereka bahas berkaitan erat dengan praktek keagamaan yang krusial dan sensitif.

Sebut saja misalnya persoalan salam lintas agama yang lagi marak diperbincangkan saat ini. Berkaitan dengan hal ini, seorang mufti dituntut untuk mengkaji dan menganalisa terlebih dahulu secara mendalam dankomprehensif hal ihwal serta seting sosial sebelum fatwa dikeluarkan.

 

Di era kontemporer saat ini, seorang mufti yang eksis di lembaga fatwa terkadang dengan sangat mudah menentukan sekaligus menetapkan hukum “halal” atau “haram” terhadap sesuatu hal, padahal bisa jadi mereka belum mengkaji secara utuh pokok persoalan yang dibahas, atau mungkin saja mereka tidak memiliki kualifikasi atau otoritas sebagai mufti (ahli fatwa), atau sebagian mereka lagi dimungkinkan kurang mengindahkan danmemperhatikan etika dalam berfatwa. Untuk itu, sebelum menelisik lebih jauh mengenai fatwa dan etika dalam berfatwa, ada baiknya terlebih dahulu mengenal dan mengetahui sifat dan karakteristik fatwa itu sendiri.

 

Sifat dan Karakteristik Fatwa

Dalam berbagai referensi dijelaskan bahwa fatwa adalah peraturan agama yang dikeluarkan oleh ulama Islam tentang hal-hal khusus yang berkaitan dengan hukum, etika, dan praktik. Fatwa bersifat kasuistik karena fatwa merupakan respon atau jawaban atas pertanyaan yang diajukan mustafti (pencari fatwa). Fatwa tidak mempunyai daya ikat, dalam arti bahwa si peminta fatwa tidak harus mengikuti substansi yang diberikan kepadanya, tetapi fatwa biasanya cenderung bersifat dinamis karena merupakan respon terhadap persoalan yang sedang dihadapi oleh mustafti.

 

Substansi fatwa itu sendiri belum tentu dinamis, tetapi sifat responsifnya itu minimal diklaim dinamis. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan fatwa adalah etika atau moralitas dalam berfatwa. Membahas moralitas fatwa ini menjadi penting karena kerap kali fatwa melahirkan polemik atau kontroversial di tengah masyarakat, termasuk polemik fatwa MUI tentang salam lintas agama yang merupakan hasil ijtima komisi fatwa MUI di Bangka Belitung beberapa minggu yang lalu. Dari fatwa tersebut

yang lalu. Dari fatwa tersebut berbagai ragam komentar bermunculan di media cetak dan media elektronik termasuk di alam jagat maya baik respon masyarakat lewat Facebook, WhatsApp. Instagram, dan lain sebagainya.

 

Umumnya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan fatwa: Pertama, perbedaan antara fatwa dan agama. Fatwa adalah kreasi dan produk penalaran manusia, sementara agama adalah wahyu Tuhan yang berdimensi ketuhanan. Kedua, terkait dengan monopoli ulama terhadap klaim kebenaran. Bahwa fatwa adalah ‘panen intelektual” ulama dari lahan agama yang begitu luas.

Adalah benar bahwa fatwa dimaksudkan untuk mempermudah masyarakat, namun harus diakui bahwa tradisi fatwa telah memisahkan masyarakat dari agama dan cenderung menjadikan fatwa sebagai agama alternatif. Dan itulah yang terjadi selama ini. Ketiga, tradisi fatwa mengajarkan masyarakat untuk mengambil kesimpulannya sendiri. Ketika fatwa melarang A, masyarakat langsung menyimpulkan harus berbuat B. Kasus salam lintas agama menjadi salah satu contohnya.

Fatwa MUI menyatakan bahwa salam lintas agama bukan implementasi dari toleransi dan moderasi beragama. Oleh karena itu pemahaman yang dipahami oleh masyarakat adalah tidak boleh mengucap dan menyampaikan salam lintas agama. Padahal salam lintas agama ini sangat menopang terwujudnya hidup damai, toleran antar umat beragama terlebih lagi dalam kehidupan sosial Bangsa Indonesia yang majemuk dan heterogen.

 

Etika Berfatwa Dalam Hukum Islam

Dalam Hukum Islam dikenal beberapa etika dalam berfatwa dalam rangka mewujudkan kemaslahatan dan rahmat bagi alam semesta antara lain:

 

Pertama, menjauhi sikap otoritarianisme. Yang dimaksud dengan sikap otoritarianisme di sini adalah kesewenang-wenangan dalam menafsirkan teks yakni merasa dirinya paling benar dalam menjelaskan makna teks baik teks al-Qur’an maupun hadis. Suara sang penafsir seakan-akan dianggap dan diterima sebagai “suara Tuhan” bahkan kata Abou El Fadl para tokoh agama tidak lagi berbicara tentang Tuhan,

melainkan berbicara “atas nama Tuhan”, atau bahkan menjadi “corong Tuhan”. Dan ini sangat berbahaya.

 

Sejatinya, hasil penafsiran/fatwa seseorang tetap saja masih bersifat zhanni yang dapat saja keliru dan kemudian merevisi penafsirannya karena ada sebab atau illat yang lebih maslahat dibanding dengan penafsiran sebelumnya. Posisi dan kedudukan seseorang di lembaga fatwa atau lembaga hukum lainnya, tidak serta merta menyebabkan ia berlaku semena-mena untuk memberi legitimasi absolut atas pendapat yang dikemukakan. Sebaliknya, ia hendaknya mempertimbangkan nilai universal

dan humanitas dalam mengeluarkan fatwa, tidak parsial, sektarian, dan apalagi individual.

 

Oleh sebab itu, untuk membebaskan fatwa dari jebakan otoritarianisme ini, Aboul Fadl memberikan beberapa persyaratan dan etika dalam berfatwa yaitu :

1. kejujuran yakni jujur dalam memahami ataupun mengambil suatu keputusan hukum yang diimplementasikan dengan adanya pengakuan bahwa pemahamannya terhadap teks tidak melampaui batas kewenangan Tuhan.

 

2. Kesungguhan yakni mujtahid harus tekun melakukan penalaran dan penyelidikan dalam menyajikan susunan lengkap dari teks-teks yang relevan dengan masalah yang dibahas.

3. Keseluruhan yakni melakukan penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh atas peristiwa atau fenomena yang terjadi

 

4. Rasionalitas bahwa seseorang yang melakukan interpretasi dan analisis terhadap doktrin agama harus memperhatikan dimensi logika dan rasionalitasnya.

5. Pengendalian diri yakni pengendalian diri dalam konteks memahami hukum Tuhan. Seseorang tidak akan terjebak dalam kubangan otoritarianisme intelektual apabila mampu menahan diri. Pembaca harus sadar bahwa hanya tekslah yang bisa mewakili kehendak Tuhan, bukan dirinya.

 

Dengan pengertian ini, maka moralitas tertinggi berkenaan dengan masalah ini adalah moralitas diskursus bukan moralitas kebenaran. Lima katup penyumbat inilah yang disebut Fadl sebagai daruriyah aqliyah, keharusan rasional.

 

Kedua, mempertimbangkan tradisi mustafti. Dalam berfatwa seorang mufti harus mempertimbangkan tradisi audien. Para ulama terdahulu mengingatkan bahwa dalam berfatwa seorang mufti tidak boleh terpaku pada teks-teks yang terdapat dalam kitab. Jika seseorang datang dari daerah yang berbeda tradisinya dengan mufti, maka mufti harus menanyakan dan memutuskan berdasarkan tradisi daerah mustafti bukan tradisi mufti.

 

Ada beberapa bukti kesejarahan lainnya untuk menunjukkan bagaimana tradisi dan kondisi sosial budaya memberikan pengaruh kuat terhadap pembentukan fiqih sebagai salah satu produk fatwa. Adanya qaul jadid dari Imam Syafi’i yang dikompilasikan setelah sampainya ia di Mesir, ketika dikontraskan dengan qaul qadim-nya yang  dikompilasikan di Irak, merefleksikan adanya  pengaruh dari tradisi adat kedua negeri yang berbeda. Ibnu al-Qoyyim mengkritik orang-orang yang hanya melihat teks-teks fiqh dan tanpa mempertimbangkan aspek lokalitas orang atau masyarakat yang bertanya atau yang membutuhkan keputusan fiqh.

 

Pandangan Ibn al-Qayyim di atas mengesankan bahwa dalam upaya memfatwakan suatu hukum hendaknya memperhatikan kondisi sosial, budaya dan bahkan juga geo-politik suatu daerah (negara), sehingga apa yang menjadi tujuan hukum itu dapat terlaksana dengan baik.

Ketiga, fatwa harus bersifat moderat. Di negeri kita pernah muncul fatwa-fatwa kontroversial seperti fatwa nikah beda agama, fatwa menghadiri natal bagi umat Islam, fatwa pelarangan sekte-sekte agama seperti Ahmadiyah, fatwa haramnya golput, fatwa hukuman mati dan lainnya.

Kedudukan fatwa-fatwa semacam itu bukan merupakan agama itu sendiri, melainkan pemahaman kelompok elite agama yang berniat menjaga kesatuan umat Islam, namun pada saat yang sama dirasakan diskriminatif dan tidak adil bagi sebagian umat Islam lainnya. Fatwa terkini yang juga kontroversial adalah fatwa MUI tentang haramnya salam lintas agama.

 

Sejatinya, mufti harus hati-hati dalam mengeluarkan fatwa baik secara individual maupun organisasi. Fatwa dalam sejarah Islam memang memegang peranan penting dan mulia dalam menjawab persoalan-persoalan agama –umumnya persoalan-persoalan fiqh. Fatwa itu sendiri merupakan pendapat mengenai masalah-masalah agama yang bisa benar bisa juga salah –karena merupakan bagian dari ijtihad.

 

Bagi umat Islam sekarang ini rasanya sulit untuk menerima “absolutisme fatwa”.

Pengeluaran fatwa tidak hanya memerlukan ilmu yang memadai tentang al-Qur’an dan hadis, tetapi juga tentang sejarah, konteks dan bahasa zaman. Karena itu fatwa bisa saja bersifat moderat.

Keempat, mengikuti bahasa hati bukan hawa nafsu. Seorang mufti ketika akan berfatwa harus mendasarkan diri pada ilmu pengetahuan yang dimiliki, bahasa hati dan tidak mengandalkan hawa nafsu. Rasulullah mengingatkan agar seorang mufti menanyakan kepada hati nuraninya (istafti qalbaka) sebelum berfatwa demi menghindari ganjalan,

keragu-raguan dan dorongan hawa nafsu.

 

 

Karena di antara hal yang sangat membahayakan dan menggelincirkan mufti ialah mengikuti dan memperturutkan hawa nafsunya dalam berfatwa, baik hawa nafsunya sendiri maupun hawa nafsu orang lain, khususnya keinginan atau pesanan penguasa dan pejabat yang diharapkan pemberiannya. Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya mengecam ulama-ulama penjilat yang mengikuti hawa nafsunya dan menyukai kesesatan daripada petunjuk QS. Al-Jatsiyah (45): 23.

 

Kelima, mempermudah tidak mempersulit. Seorang mufti harus memegang prinsip mempermudah jawaban mustafti bukan mempersulit, hal ini didasarkan pada dua alasan: Pertama, bahwa syari’at dibangun atas dasar memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan bagi manusia. Hal ini sudah dinyatakan dengan jelas dan tegas di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dalam berbagai momentum. Seorang mufti tidak boleh berprinsip “kalau masih bisa dipersulit kenapa harus dipermudah. Kedua, Karakteristik zaman yang terus berubah. Dalam hal ini Ibnu al-Qayyim menjelaskan: “Tidak bisa dipungkiri adanya perubahan fatwa (hukum) karena adanya perbedaan waktu, tempat, keadaan, niat dan tradisi”.

Demikian etika-etika atau akhlak yang harus dimiliki oleh seorang pemberi fatwa (mufti) dalam memberikan fatwa. Persyaratan ini perlu diketahui agar fatwa yang dihasilkan proporsional, tidak melahirkan kontroversial dan tentunya tidak melahirkan otoritarianisme baru dalam wacana hukum Islam. Wallohu A’lam bi Al-Shawab

 

Penulis : Adalah Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram

 

(TT-01).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *