Di tengah-tengah hedrogenitas masyarakat Sulawesi Tengah yang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan keberagaman dalam kebhinekaan ansich, lagi-lagi menjadi sebuah penegasan bahwa hadirnya Ahmad Ali menjadi sosok utama pilihan masyarakat Sulawesi Tengah di perhelatan Pilgub Sulawesi Tengah ini, adalah buah kematangan produk leadership zahir batin seorang Ahmad Ali yang telah membumi di tanah Tadulako.
Dalam konteks pemilukada, popularitas menjadi modal politik yang penting agar suara bisa diraup sebanyak mungkin dari pemilih di kotak suara.
Para petarung yang sudah menyatakan siap tempur dengan mendaftarkan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah ke KPUD lalu kemudian mendapatkan nomor urut, mungkin menyadari modal politik tersebut.
Hal yang pasti, ada relasi yang berlangsung secara dua arah dalam proses pengusungan calon di pilkada.
Meskipun demikian, popularitas hanyalah sarana untuk memenuhi satu bagian dalam politik pemerintahan.
Setelah pilkada selesai dan pemenangnya telah diketahui, ada beberapa bagian lagi yang harus ditangani, seperti perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan.
Ketiga hal tersebut sangat penting karena dampaknya akan terasa bagi banyak orang. Persoalannya, perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan memerlukan pengetahuan dan keahlian tertentu yang perlu dipelajari serta ditempa melalui serangkaian panjang pengalaman.
Dalam konteks pemilihan Gubernur Sulawesi Tengah, keterlibatan warga Sulteng secara penuh, baik itu dalam hal memilih pemimpin maupun dipilih, bisa memajukan desentralisasi politik.
Meskipun demikian, dalam persoalan hak warga untuk dipilih, daerah membutuhkan pemimpin yang punya kapasitas dan integritas.
Kapasitas itu soal kompetensi dan itu tidak hanya soal jabatan, riwayat pendidikan, tapi kemampuan lain, terutama mengelola pembangunan di daerah. Kedua, integritas, yakni bagaimana calon bebas dari korupsi, korupsi, dan nepotisme.
Setiap warga negara yang maju sebagai calon pemimpin perlu diuji berdasarkan kedua hal tersebut.
Kapasitas dan integritas itu perlu diuji untuk semua warga negara. Di samping persoalan popularitas dalam pilkada, ada hal yang lebih penting dalam aspek politik pemerintahan, seperti perencanaan kebijakan, penyusunan anggaran, dan tata kelola pemerintahan.
Pemimpin pemerintahan dinilainya perlu menguasai hal-hal tersebut. Itu bukan perkara belajar satu dua bulan.
Ini yang mungkin, menurut hemat penulis, perlu disadari oleh siapa pun yang maju sebagai calon pemimpin daerah dari beragam latar belakang, bukan artis saja.
Berbicara tentang perencanaan kebijakan saja, itu bukan perkara gampang karena menyangkut sisi administrasi, mulai dari musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) hingga penyusunan laporan keuangan pemerintah daerah (LKPD).
Tidak hanya itu, pemimpin pemerintahan juga perlu memahami dan menguasai tata kelola pemerintahan yang memberi ruang partisipasi, akuntablitas, dan transparansi.
Dan ini, mesti benar-benar disadari. Bila aspek kapasitas dan integritas ternyata tidak ada dalam diri pemimpin pemerintahan, maka ke depannya bisa menimbulkan pekerjaan rumah yang bebannya sangat berat.
Kalau tidak memiliki bekal kapasitas dan integritas, yang dikorbankan adalah pembangunan daerahnya.
Bagi seorang politisi selevel Ahmad Ali, popularitas itu bisa merupakan berkat yang menguntungkan. Senayan, tempat para wakil rakyat berkantor, dihiasi sejumlah figur artis yang bermodalkan popularitas, selain uang tentu saja.
Atau, contoh terbaik tentang kekuatan popularitas dalam mengusung figur seseorang menjadi pemimpin adalah “fenomena Jokowi”. Pendatang baru di jagat perpolitikan nasional itu bisa meroket ke puncak kepemimpinan nasional, antara lain karena popularitasnya yang menjulang tinggi.
Namun, populer saja tidak cukup, apalagi popularitas yang cuma sesaat, sebagai fondasi kesuksesan berjangka panjang dan langgeng.
Popularitas itu mesti diperkuat dengan kombinasi atau campuran berbagai kualitas pribadi.
Seperti pasir harus dicampur dengan semen agar bisa menjadi unsur fondasi bangunan yang kuat.
Demikian pula popularitas perlu diaduk, dicampur dengan kemantapan karakter, kemampuan inteligensi, kepekaan nurani, ketajaman visi, daya inovatif, dan keberanian bertindak atau mengeksekusi kebijakan yang tepat.
Maka untuk semua itu, diperlukan selalu mawas diri, tak mudah terbuai oleh bujukan untuk meraih popularitas sesaat.
Jangan cepat bersinar gemilang, namun terlampau cepat pula redup dan buram, kita perlu memperkuat fondasi kehidupan dengan memantapkan kualitas diri, termasuk mutu hidup rohani, memelihara kedalaman relasi dengan Yang Ilahi, sekaligus membangun dan merawat interrelasi yang positif dengan sesama.
Pribadi yang matang selalu sadar, tak pernah ada orang yang sukses sendirian. Kita hanya hanya bisa sukses dalam kebersamaan.
Maka dari apa-apa yang penulis paparkan di atas, menunjukkan bahwa secara kualitatif aksentuasi Ahmad Ali dalam memainkan ritme kepemimpinannya menuju kursi ‘Sulteng 1’, adalah keniscayaan yang tak terbantahkan dari sebab akibat rekam jejak yang dilaluinya selama ini.
Dan secara garis besar menunjukkan kematangan seorang Ahmad Ali melakukan akselerasi tanpa mencederai batasan integral yang dapat menodai citra keleadershipannya.
Bukti konsisten Ahmad Ali yang kini berkeyakinan penuh dapat menorehkan tinta sejarah dengan menegaskan lahirnya harapan baru Sulawesi Tengah menuju Sulteng sejahtera, bukanlah muncul secara instan.
Apalagi jika dikaitkan dengan berbagai hal yang terkait efek kebaikan yang telah mendarah daging akan kebermanfaatan amal jariah yang dialirkan oleh Ahmad Ali sejak puluhan tahun lalu, akan membuktikan bahwa bermodalkan ketulusan hati dalam mengemban tugas dan tanggungjawab terhadap amanah yang pikul, dengan tetap mengedepankan toleransi nilai-nilai sosial keummatan.
Oleh : Maulana Maududi (Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Central Analisa Strategis – DPP CAS / Angkatan 18 Pondok Pesantren Darunnajah Jakarta)
BERSAMBUNG