TOPIKterkini.com, BUTON TENGAH – Polemik pelebaran jalan di jalur Lombe-Lakapera, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah (Buteng), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) kini makin memanas. Pasalnya, beberapa elemen aktivis, LSM, hingga kalangan advokad turut memantau dan menyoroti persoalan tersebut.
Dari amatan langsung di lapangan, proses pengerjaan pelebaran jalan jalur Provinsi tersebut (Jalur Lombe-Lakapera, red) terindikasi banyak penyimpangan, tidak ada asas transparansi publik, hingga pelanggaran hukum. Disadur dari Liputanpersada.com, hasil pengecekan pihak terkait yang berkompeten, pada proyek pelebaran jalan jalur Lombe-Lakapera tersebut tidak terdapat dalam sistem LPSE Buton Tengah (Tidak ditemukan daftar tender maupun pemenang tender) meskipun diketahui anggaran proyek tersebut senilai setengah miliar rupiah.
Sepanjang jalan yang terkena proyek pelebaran bahkan tidak ditemukan papan proyek pekerjaan, sehingga publik pun dibuat bingung karena proyek tersebut tidak memiliki kejelasan status (Apakah proyek Provinsi atau Proyek Kabupaten).
Salah satu pemilik lahan La Ode Alim Alam mengungkapkan, bukan rahasia umum lagi, suatu proyek bisa dikerjakan apabila telah terbit Surat Perintah Kerja (SPK) dari pihak yang berwenang.
“Ini mi yang menjadi uneg masyarakat, proyek apa sebenarnya ini, jangan karena kita penguasa anggaran di Kabupaten ini, semaunya kita mau kerja,” ungkap La Ode, saat dikonfirmasi ulang pada Kamis (20/6/2019).
Penyimpangan lain terkait pelebaran jalan itu kata dia, pekerjaan yang diketahui menelan anggaran setengah miliar rupiah tersebut belum melalui proses tender. Hal itu ditandai dengan tidak dicantumkannya papan proyek pekerjaan.
“Memang kalau anggaran Rp 0-200 juta itu tanpa melalui tender, anggaran Rp 200 juta keatas itu proyek. Jika ini proyek, mana papan proyeknya, mana SPK nya, terkait pelaksanaannya, ini harus jelas anggarannya, tendernya dimana, di LPSE tidak ada peruntukan pekerjaan itu, ini adalah penyimpangan berat,” kata La Ode Alim.
Terkait persoalan tidak adanya papan proyek, Kepala Dinas PUTRPR Buteng Ir. Maiynu saat dikonfirmasi awak media enggan berkomentar lebih detil, dikarenakan tanggung jawab pekerjaan telah diserahkan kepada Asban Mukmin, ST selaku Kepala Bidang Bina Marga, Dinas PUTRPR Buteng.
“Masalah papan proyek, kecuali, e..,e.., dimana pak Ambang (Saat bertanya kepada salah satu stafnya), kepala Bidangnya itu yang ditunjuk melakukan kegiatan itu, yang saya tahu seperti itu,” ujar Maiynu kepada awak media.
Sementara itu, Ketua Bidang Hubungan Kerjasama Antar Lembaga Pemerintah dan Sosial Kemasyarakatan, DPC PERADI Kota Baubau, Ardin Firanata, SH., MH, turut prihatin setelah melihat adanya dugaan pelanggaran hukum terkait proyek tersebut. Ia pun langsung menjabarkan dasar hukum tentang kelayakan pemberian ganti rugi kepada para pemilik lahan yang terkena proyek kepentingan umum tercantum jelas di UU No. 2 Tahun 2012, pada pasal 10 huruf ‘b’.
“Pengadaan tanah untuk pelebaran jalan umum, memang termasuk dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 huruf ‘b’ Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum,”
Ia juga menjelaskan, tanah atau lahan perkebunan masyarakat yang terkena kepentingan umum, sebagaimana juga tercantum pada Pasal 4 ayat (1) pada huruf ‘b’ digunakan untuk pembangunan jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api.
“Pada dasarnya, pengadaan tanah untuk kepentingan umum dilaksanakan dengan pemberian ganti kerugian yang layak dan adil kepada masyarakat yang berhak. Penilaian besarnya nilai ganti kerugian atas tanah yang terkena pengadaan tanah untuk kepentingan umum (Pelebaran jalan) ditetapkan oleh Penilai dalam hal ini Lembaga Pertanahan. Nilai ganti kerugian pun harus berdasarkan hasil penilaian Penilai tersebut, agar menjadi dasar musyawarah penetapan ganti kerugian,” tegas Ardin.
Dijelaskannya pula, musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti kerugian berdasarkan hasil penilaian tersebut, idealnya harus dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari kerja, sejak hasil penilaian dari Penilai disampaikan kepada Lembaga Pertanahan. Pelaksanaan musyawarah ini juga dilaksanakan dengan mengikutsertakan Instansi yang memerlukan tanah (Dinas PUTRPR Buteng).
Yang perlu diketahui oleh masyarakat kata dia, bahwa hasil kesepakatan dalam musyawarah menjadi dasar pemberian ganti kerugian kepada pihak yang berhak (Masyarakat pemilik lahan). Hasil kesepakatan tersebut kemudian dimuat dalam berita acara kesepakatan.
“Setelah masyarakat pemilik lahan sudah mendapatkan kompensasi atau ganti rugi terkait pembebasan lahannya, baru lah pemerintah dapat melakukan aktifitas atau kegiatan pengerjaan pelebaran jalan. Jika masyarakat pemilik lahan merasa keberatan atas nominal nilai ganti rugi, maka masyarakat pemilik lahan tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) setempat,” ucap Ardin.
Advokad yang mulai berkecimpung di Jakarta ini juga memaparkan, masyarakat pemilik lahan harus sadar dan memahami haknya. Lahan milik masyarakat tidak boleh digusur dengan paksa berdasarkan Pasal 5 UU No.2 Tahun 2012. Selain itu, pemilik tanah/lahan wajib melepaskan tanahnya pada saat pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum dengan catatan: setelah pemberian ganti kerugian atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
“Artinya bahwa, selama belum ada kesepakatan mengenai ganti kerugian dan belum ada pemberian ganti kerugian kepada masyarakat yang memiliki hak, maka masyarakat tidak wajib melepaskan tanahnya,” paparnya.
“Terkait persoalan ini, siapa pun yang mengelola proyek pelebaran jalan di jalur Lombe-Lakapera, apakah dia tergabung pada perusahaan CV, maupun dari pihak Instansi pemerintah maka harus patuh dan taat pada hukum atau Undang-Undang, sebaiknya pihak pemerintah juga ikut mensosialisasikan aturan hukum tentang pembebasan lahan ke masyarakat awam, agar mereka juga paham aturannya,” tambahnya mengakhiri. (**)
Laporan Jurnalis Kepton: Anton